Creativestation.id – Di tengah desakan perubahan arah kebijakan sosial dan ekonomi, standar kemiskinan BPS kembali jadi sorotan utama. Data terakhir yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa garis kemiskinan nasional berada di angka Rp595.243 per orang per bulan per September 2024.
Namun, banyak pihak menilai angka ini tak lagi relevan dengan kondisi ekonomi dan biaya hidup masyarakat Indonesia tahun 2025. Terlebih lagi, ada jurang perbedaan yang cukup lebar jika dibandingkan dengan standar internasional yang ditetapkan oleh Bank Dunia.
Secara sederhana, standar kemiskinan adalah batas minimum pendapatan atau pengeluaran yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan bergizi, tempat tinggal, dan kebutuhan esensial lain. Jika seseorang hidup dengan pengeluaran di bawah batas tersebut, maka ia dikategorikan sebagai miskin.
Perbedaan Data BPS dan Bank Dunia yang Jadi Sorotan
Saat ini, Indonesia masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah atas menurut klasifikasi Bank Dunia. Namun, garis kemiskinan nasional masih dihitung dengan pendekatan lama, yaitu Cost of Basic Needs atau kebutuhan dasar yang mencakup konsumsi pangan minimal 2.100 kilokalori per hari dan barang non-pangan esensial.
Masalahnya, menurut Bank Dunia, pendekatan ini jauh dari realitas kekinian. Dengan menggunakan purchasing power parity (PPP) tahun 2021, Bank Dunia menetapkan bahwa batas kemiskinan untuk negara menengah bawah adalah US$4,20 per hari (sekitar Rp765.000/bulan), sedangkan untuk negara menengah atas mencapai US$8,30 per hari (Rp1.512.000/bulan).
Jika mengacu pada batas kemiskinan versi Bank Dunia, maka 68,3 persen penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Bandingkan dengan data BPS yang menyebut hanya 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
“Benchmark yang terlalu rendah ini membuat kita merasa sudah cukup dalam mengurangi kemiskinan. Padahal, realitasnya belum demikian,” ujar ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Perlu Revisi Standar Kemiskinan BPS yang Lebih Relevan
Desakan untuk memperbarui standar kemiskinan BPS semakin kuat datang dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah dan lembaga riset ekonomi. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan kajian bersama BPS untuk menentukan garis kemiskinan yang lebih mencerminkan kondisi nyata masyarakat.
“BPS sedang berbicara dengan kami, jadi nanti kita tidak perlu kaget jika datanya berubah. Semoga Presiden bisa sampaikan dalam pidato kenegaraan berikutnya,” kata Luhut saat menghadiri konferensi infrastruktur di Jakarta.
Senada dengan itu, Arief Anshory Yusuf dari Dewan Ekonomi Nasional juga menekankan pentingnya pembaruan metode. Menurutnya, metode penghitungan kemiskinan yang digunakan saat ini sudah diterapkan sejak 1998 dan belum pernah mengalami revisi besar.
“Kalau metode ini terus dipertahankan, maka kebijakan yang dibuat bisa tidak akurat. Angka kemiskinan yang rendah itu bisa memberi kesan palsu bahwa semua baik-baik saja, padahal belum tentu,” jelas Arief.
Arief menambahkan, idealnya, standar kemiskinan BPS berada di kisaran Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan agar lebih sesuai dengan kategori negara berpenghasilan menengah ke atas.
Standar Internasional Tak Bisa Diabaikan Lagi
Meskipun ada kekhawatiran bahwa angka dari Bank Dunia terlalu tinggi untuk diterapkan secara lokal, para ahli menyadari bahwa dunia internasional tetap mengacu pada data tersebut. Maka dari itu, meskipun sulit, Indonesia harus mulai beradaptasi dengan indikator global.
“Dunia pasti mengacu kepada data World Bank. Mau tak mau, kita harus menjadikannya landasan dalam merancang kebijakan,” kata Wijayanto.
Namun demikian, baik BPS maupun pemerintah tengah mengkaji opsi agar garis kemiskinan nasional tetap realistis namun tidak terlalu jauh tertinggal dari perkembangan global. Hal ini juga penting untuk menjaga kredibilitas data kemiskinan Indonesia di mata internasional.
Kondisi ekonomi Indonesia di tahun 2025 menuntut pembaruan dalam berbagai aspek kebijakan publik, termasuk penyesuaian standar kemiskinan BPS. Jika tidak segera diperbarui, data yang ada bisa menyesatkan arah kebijakan ekonomi dan menyamarkan kenyataan hidup sebagian besar masyarakat. Revisi terhadap garis kemiskinan ini bukan sekadar soal angka, melainkan juga soal keadilan sosial dan ketepatan sasaran dalam penyaluran bantuan serta perencanaan pembangunan.
Untuk berita bisnis dan ulasan teknologi terbaru, ikuti terus creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.
Leave a Comment