Creativestation.id – Belakangan ini, media sosial dipenuhi video tren joget Velocity dan jedag-jedug (JJ) yang dilakukan di tempat-tempat umum. Dari trotoar jalan, halte, stasiun, hingga rumah sakit dan tempat ibadah.
Dengan gerakan energik, musik cepat, dan visual estetik, tren ini memang mengundang atensi. Namun di balik fenomena ini, muncul pertanyaan penting: apakah ini bagian dari kebebasan berekspresi, atau justru bentuk abai terhadap etika ruang publik?
Velocity adalah tren video TikTok yang menggabungkan filter blur estetik, gerakan lambat diawali, lalu dihentak dengan jeda musik intens.
Sementara jedag-jedug lebih dikenal sejak era awal TikTok dan aplikasi edit video CapCut yang memainkan beat cepat, efek kilat, dan transisi mendadak. Kedua tren ini kerap digunakan untuk konten dance atau gaya-gayaan di tempat umum, yang terkadang membuat beberapa orang merasa terganggu.
Ekspresi Digital vs Etika Sosial
Kebebasan berekspresi adalah hak yang dijamin dalam demokrasi, termasuk dalam bentuk digital seperti TikTok. Namun hak ini tidak berdiri sendiri, ia dibatasi oleh hak orang lain. Saat joget dilakukan di ruang yang seharusnya digunakan untuk aktivitas tertentu seperti belajar, ibadah, atau layanan kesehatan, maka ruang ekspresi berubah menjadi potensi gangguan.
Misalnya, muncul video viral seseorang joget Velocity di depan ruang ICU rumah sakit sambil tersenyum dan menari dengan ekspresi bahagia. Alih-alih menghibur, banyak warganet justru menilai ini tidak pantas.
Atau video kelompok remaja berjoget jedag-jedug di tengah keramaian halte TransJakarta yang akhirnya membuat lalu lintas penumpang terganggu.
Fenomena ini menunjukkan adanya kegamangan generasi digital dalam memahami batas antara ruang privat dan publik. Apa yang cocok dilakukan untuk konten pribadi belum tentu cocok saat dilakukan di ruang bersama.
Baca juga: Gadget & Gen Z: Apa Kata Gen Z Soal Gaya Hidup Simple Tapi Estetik?
Kebutuhan Edukasi Digital
Tren ini menyuarakan satu hal penting: perlunya edukasi literasi digital yang tidak hanya fokus pada aspek teknis (seperti cara membuat konten), tetapi juga pada aspek sosial dan etis dalam menggunakannya.
Pakar komunikasi Dr. Devie Rahmawati dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa media sosial telah menciptakan ruang-ruang “performatif”, di mana setiap orang ingin terlihat, namun kadang abai konteks. “Generasi muda perlu disadarkan bahwa ruang publik punya aturan tak tertulis yang harus dihormati,” ujarnya dalam kanal YouTube resmi UI.
Hal ini tidak berarti melarang anak muda mengekspresikan diri. Joget di taman kota, area hiburan terbuka, atau event festival misalnya, bisa menjadi ruang ekspresi yang tetap menghormati kenyamanan bersama.
Tren joget Velocity dan jedag-jedug memang menjadi bagian dari dinamika budaya Gen Z yang ekspresif dan digital. Namun penting untuk diingat, ekspresi tetap butuh etika. Ruang publik bukan panggung pribadi, dan kebebasan berekspresi tidak berarti bebas aturan. Saat semua orang ingin terlihat, semoga kita tak lupa bagaimana cara untuk tetap menghargai satu sama lain.
Ikuti terus opini-opini kritis seputar budaya digital, Gen Z, dan tren sosial hanya di Creativestation.id – Wadah Inspirasi, Inovasi, dan Ekonomi Masa Depan.
Leave a Comment