Creativestation.id – Harga minyak mentah global kembali mencatatkan penguatan tipis di tengah ketidakpastian yang masih menyelimuti pasar energi dunia.
Pada perdagangan Kamis pagi waktu Indonesia (8/5/2025), harga minyak Brent tercatat naik ke level US$61,40 per barel, sementara harga minyak acuan Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI), juga mengalami kenaikan menjadi US$58,40 per barel.
Penguatan ini terjadi setelah sebelumnya harga minyak sempat mengalami tekanan akibat belum jelasnya arah negosiasi perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan China.
Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar mengambil sikap hati-hati dalam menyikapi dinamika pasar energi yang sangat sensitif terhadap isu-isu global.
Menanti Hasil Pertemuan Tinggi AS-China
Kenaikan harga minyak ini terjadi menjelang pertemuan penting antara pejabat tinggi dari AS dan China yang dijadwalkan berlangsung di Swiss pada akhir pekan ini.
Pertemuan ini dianggap krusial karena menjadi penentu kelanjutan negosiasi perdagangan yang sudah berlangsung alot selama beberapa tahun terakhir.
Namun, optimisme pasar kembali terkikis setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam pernyataan terbarunya menyebut bahwa tidak akan ada pelonggaran tarif secara dini sebagai bagian dari kesepakatan awal.
Pernyataan tersebut membuat kekhawatiran meningkat bahwa pertemuan di Swiss bisa saja tidak menghasilkan terobosan berarti, bahkan berisiko mengalami kebuntuan.
Isu perang dagang ini telah lama menjadi momok bagi pertumbuhan ekonomi global, termasuk permintaan terhadap minyak mentah.
Jika konflik ini terus berlarut, maka proyeksi permintaan energi global juga berpotensi mengalami revisi ke bawah.
Baca juga : Garuda Indonesia Klarifikasi Isu “Grounded”, 15 Pesawat Tertunda Perawatan
Faktor Internal, Penurunan Produksi dan Ketidakpastian OPEC+
Selain dari sisi geopolitik, penguatan harga minyak juga dipengaruhi oleh dinamika internal di sektor energi itu sendiri.
Salah satunya adalah pengurangan belanja modal dan aktivitas produksi oleh perusahaan-perusahaan minyak AS, khususnya yang beroperasi di Permian Basin, Texas. Kawasan ini selama beberapa tahun terakhir menjadi pusat produksi shale oil terbesar di Amerika Serikat, bahkan dunia.
Pemangkasan ini dilakukan sebagai respons terhadap harga minyak yang tidak stabil dan mahalnya biaya eksplorasi serta produksi.
Ketika perusahaan mengurangi produksi, maka pasokan secara global ikut turun, yang pada akhirnya memberi ruang bagi harga untuk naik.
Di sisi lain, ketidakpastian kebijakan dari kelompok OPEC+ (yang terdiri dari negara-negara produsen minyak utama seperti Arab Saudi, Rusia, dan sekutunya) juga menjadi sorotan.
Belum ada kejelasan apakah OPEC+ akan memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi atau menyesuaikan jumlah produksi sesuai permintaan global.
Jika OPEC+ tetap konsisten menahan produksi, maka itu akan menjadi penopang utama harga minyak. Sebaliknya, jika terjadi lonjakan produksi, pasar bisa kembali banjir pasokan dan menekan harga kembali.
Sinyal dari The Fed Tambah Dinamika Pasar
Kebijakan moneter Amerika Serikat melalui Federal Reserve (The Fed) juga menjadi elemen penting yang mempengaruhi arah pasar minyak.
Dalam keputusan terbarunya, The Fed memilih untuk menahan suku bunga acuan, dengan alasan belum ada sinyal kuat bahwa inflasi akan segera melonjak.
Namun, Ketua The Fed, Jerome Powell, mengingatkan bahwa dampak perang dagang yang berkepanjangan bisa menciptakan tekanan inflasi yang lebih besar ke depan.
Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar mulai mempertimbangkan berbagai kemungkinan terkait prospek suku bunga dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Pasar Mencari Titik Keseimbangan Baru
Dalam dua sesi perdagangan terakhir, terlihat bahwa harga minyak mulai mencoba pulih dan menyesuaikan diri dengan berbagai faktor global.
Walaupun belum kembali ke level tertinggi bulan lalu, tren penguatan ini menunjukkan bahwa pasar sedang berusaha mencari titik keseimbangan baru, di tengah tarik ulur antara sentimen positif dan kekhawatiran geopolitik.
Pasar energi global memang sangat rentan terhadap perkembangan eksternal. Mulai dari ketegangan di Timur Tengah, kebijakan domestik negara produsen, hingga negosiasi dagang seperti yang sedang berlangsung antara AS dan China semuanya dapat mempengaruhi harga dalam waktu singkat.
Baca juga : Ciliandra Fangiono Resmi Kuasai ANJT, Nilai Akuisisi Tembus Rp 5,54 Triliun
Dalam jangka pendek, arah harga minyak dunia sangat bergantung pada hasil negosiasi AS-China. Jika pertemuan akhir pekan ini di Swiss menghasilkan kesepakatan atau setidaknya sinyal positif, maka harga minyak berpotensi terus menguat. Sebaliknya, jika tidak ada kemajuan berarti, pasar bisa kembali dihantui volatilitas.
Secara fundamental, penurunan produksi dan keterbatasan pasokan menjadi faktor yang mendukung harga tetap bertahan di level moderat.
Namun tanpa dukungan permintaan yang kuat dari aktivitas ekonomi global, penguatan harga akan sulit berkelanjutan.
Investor dan pelaku industri energi kini harus lebih cermat membaca arah kebijakan moneter, strategi OPEC+, serta perkembangan geopolitik yang berubah cepat.
Pasar minyak telah memasuki fase baru di mana keseimbangan bukan hanya ditentukan oleh pasokan dan permintaan, tetapi juga oleh kebijakan dan diplomasi internasional.
Untuk informasi dan ulasan teknologi terbaru, ikuti terus Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.
Leave a Comment