Quarter Life Crisis: Kenapa Semua Orang Merasa Kehilangan Arah?

Syarifah

May 6, 2025

4
Min Read
Quarter Life Crisis: Kenapa Semua Orang Merasa Kehilangan Arah?
(Dok. Creative Station/Syarifah)

Creativestation.id – Di usia 20-an, banyak dari kita merasa seperti berada dalam lorong gelap tanpa peta. Lulus kuliah tak selalu berarti tahu arah hidup. Bekerja tak otomatis membuat bahagia. Bahkan, punya pasangan atau menikah pun belum tentu menyelesaikan rasa gelisah yang mengendap.

Fenomena ini dikenal dengan istilah Quarter Life Crisis (QLC), sebuah fase di mana individu muda, biasanya usia 20–30 tahun, mengalami kebingungan, cemas, hingga kehilangan arah dalam hidup.

Bukan Sekadar Galau Biasa

Quarter Life Crisis bukan istilah pop semata. Ini adalah fenomena psikologis yang diakui. Alexandra Robbins dan Abby Wilner dalam bukunya Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties menyebut bahwa fase ini muncul karena pergeseran kehidupan dari masa remaja menuju kedewasaan yang penuh tuntutan dan harapan dari lingkungan, orang tua, hingga standar sosial.

Sebuah survei dari LinkedIn terhadap lebih dari 6.000 profesional muda di dunia menunjukkan bahwa 75% responden usia 25–33 tahun mengalami QLC. Mereka menyatakan cemas karena merasa “tertinggal” secara karier, finansial, atau hubungan.

Tekanan Sosial dan Media Sosial: Pemicu yang Menguat

Era digital memperkuat tekanan ini. Feed media sosial dipenuhi pencapaian orang lain, teman yang lulus S2, rekan kerja yang menikah muda, atau kenalan yang viral. Perbandingan sosial tanpa disadari memicu rasa tidak cukup.

Mara Sousa, dalam esainya yang berjudul What Psychologists Tell Us About The Quarter-Life Crisis, menyatakan bahwa individu dengan external locus of control (keyakinan bahwa hidup dikendalikan oleh faktor eksternal) lebih rentan mengalami QLC. Ia menyarankan untuk mengembangkan internal locus of control, yaitu keyakinan bahwa individu memiliki kendali atas hidupnya sendiri, sebagai strategi untuk mengatasi QLC.

Baca juga: Kenapa Gen Z Lebih Suka Riding untuk Healing Dibanding Nongkrong di Kafe?

Ketidakpastian Karier dan Finansial

QLC juga diperburuk oleh realitas ekonomi: banyak lulusan bekerja di luar bidangnya, gaji tak sebanding kebutuhan hidup, dan tuntutan untuk “sukses di usia muda”. Semua itu memicu kegelisahan dan perasaan tidak berkembang.

Dalam artikel yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada, Azri Agustin, M.Psi., Psi, Psikolog Klinis Fakultas Psikologi UGM menegaskan bahwa generasi muda dalam fase ini akan mengalami QLC jika terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan tugas perkembangan (mandiri, memilih pendidikan dan karir, menikah, dll) dengan kemampuan kita mengatasinya.

Dr. Meg Jay, psikolog klinis dan penulis The Defining Decade, menekankan bahwa QLC adalah kesempatan untuk refleksi dan pembentukan identitas. Ia menyebut, “Itu bukan krisis, tapi tanda bahwa kamu sedang tumbuh.”

Cara Menghadapinya: Dari Refleksi ke Aksi

Berikut beberapa langkah praktis untuk melewati masa ini:

  • Kurangi membandingkan diri. Setiap orang punya waktu dan jalannya sendiri.
  • Tetapkan nilai pribadi. Fokus pada apa yang penting buatmu, bukan orang lain.
  • Bicarakan dengan mentor atau profesional. Validasi dari luar bisa membuka perspektif.
  • Buat rencana kecil dan realistis. Fokus pada kemajuan, bukan kesempurnaan.
  • Eksplorasi dan coba hal baru. Terkadang arah ditemukan setelah mencoba banyak jalan.

Quarter life crisis bisa menjadi fase yang membingungkan, namun juga sarat potensi. Di tengah tekanan sosial, ekspektasi karier, dan pencarian jati diri, justru terbuka ruang untuk refleksi dan pertumbuhan. Yang penting adalah menyadari bahwa kamu tidak sendirian, banyak generasi muda lainnya juga sedang menavigasi gelombang serupa.

Ambil waktu untuk mengenali apa yang benar-benar penting bagimu, jangan ragu mencari dukungan profesional, dan izinkan dirimu menjalani proses ini dengan lebih manusiawi. Karena setiap perjalanan menuju arah yang lebih jelas selalu dimulai dari keberanian untuk menghadapi ketidakpastian.

Quarter Life Crisis adalah titik temu antara idealisme dan realitas. Walau terasa berat, fase ini bisa menjadi proses penting untuk mengenal diri dan menetapkan arah hidup. Daripada merasa gagal, mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya: “Apa yang benar-benar ingin aku jalani dalam hidup ini?”

Ikuti terus ulasan tren, opini, dan dinamika hidup Gen Z hanya di Creativestation.id — Wadah Inspirasi, Inovasi, dan Ekonomi Masa Depan.

Baca juga: Gadget & Gen Z: Apa Kata Gen Z Soal Gaya Hidup Simple Tapi Estetik?

Leave a Comment

Related Post