Creativestation.id – Bank syariah hadir sebagai alternatif keuangan yang menawarkan solusi bebas riba, membawa semangat keadilan, transparansi, dan kemitraan dalam setiap transaksi.
Salah satu prinsip utama yang menjadi ciri khasnya sejak awal adalah sistem bagi hasil, yang membedakannya secara mendasar dari praktik bunga pada bank konvensional.
Namun, kenyataannya, meskipun berlabel “syariah”, lembaga keuangan syariah (LKS) tetap memiliki celah untuk terjerumus ke dalam praktik riba khususnya jika tidak berhati-hati dalam penerapan akad pembiayaan tertentu.
Salah satu akad yang cukup rawan disalahgunakan adalah murabahah bil wakalah, yaitu gabungan antara akad murabahah (jual beli dengan margin keuntungan) dan wakalah (pemberian kuasa).
Bagaimana Skema Murabahah Bil Wakalah Bekerja?
Skema ini sebenarnya sudah diatur dalam Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Secara garis besar, berikut tahapan ideal dalam penerapannya:
- Nasabah mengajukan pembiayaan ke bank syariah/LKS untuk membeli barang tertentu, lengkap dengan harga dan spesifikasi.
- Jika disetujui, bank melakukan akad wakalah, memberi kuasa kepada nasabah untuk membeli barang.
- Bank menyerahkan dana pembelian kepada nasabah.
- Nasabah membeli barang dari pihak ketiga (misalnya toko atau supplier), dibuktikan dengan nota pembelian.
- Barang dan nota diserahkan kepada bank syariah.
- Setelah itu, dilakukan akad murabahah bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga pokok ditambah margin keuntungan.
- Barang kemudian diserahkan kembali kepada nasabah sebagai pembeli akhir.
Jika semua tahapan di atas dijalankan dengan benar, maka akad ini sesuai dengan prinsip syariah.
Di Mana Letak Potensi Ribanya?
Masalah muncul ketika tahapan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Misalnya:
- Bank hanya memberikan dana kepada nasabah tanpa benar-benar membeli atau memiliki barang terlebih dahulu.
- Tidak ada proses serah terima barang dari nasabah ke bank, dan dari bank ke nasabah kembali.
- Tidak ada bukti kuat bahwa bank pernah menjadi pemilik sah barang tersebut—walaupun hanya secara prinsip.
Jika itu yang terjadi, akad murabahah menjadi tidak sah. Mengapa? Karena tidak pernah terjadi transaksi jual beli yang sah antara bank dan nasabah.
Dalam situasi ini, keuntungan yang diambil oleh bank atas dana yang diberikannya bisa dikategorikan sebagai riba persis seperti praktik bunga dalam bank konvensional yang justru ingin dihindari.
Baca juga : KPK Tegaskan Tetap Berwenang Tangani Korupsi di BUMN Meski UU BUMN Direvisi
Nasabah Perlu Lebih Kritis
Bagi Anda yang pernah mengambil pembiayaan dengan skema murabahah bil wakalah, penting untuk meninjau kembali prosesnya. Tanyakan hal-hal berikut:
- Apakah bank benar-benar memiliki barang sebelum menjualnya kepada Anda?
- Apakah ada dokumen atau nota yang membuktikan kepemilikan tersebut?
- Apakah ada dua akad yang dilakukan, yaitu wakalah dan murabahah, dengan urutan yang benar?
- Jika ternyata ditemukan bahwa akad dilakukan tanpa pemenuhan tahapan syariah secara lengkap, maka akad tersebut berpotensi cacat hukum secara syar’i. Anda berhak mengajukan keberatan kepada pihak bank syariah dan bahkan melaporkannya ke OJK jika perlu.
Syariah Itu Bukan Label, Tapi Proses
Menggunakan layanan bank syariah bukan sekadar memilih produk keuangan yang berbeda, tapi juga menyangkut keyakinan untuk menghindari riba.
Baca juga : Harga Daging Ayam Naik! Ini Update Terbaru!
Oleh karena itu, memastikan bahwa setiap tahapan dilakukan sesuai syariah bukan hanya tanggung jawab bank, tapi juga hak dan tanggung jawab kita sebagai nasabah.
Jangan ragu untuk bersuara. Karena niat kita memilih bank syariah adalah untuk menjauh dari riba, bukan justru terjebak di dalamnya tanpa kita sadari.
Ikuti terus perkembangan prestasi anak bangsa lainnya hanya di Creativestation.id – Wadah Inspirasi, Inovasi, dan Ekonomi Masa Depan.
Leave a Comment