Creativestation.id – Perlambatan ekonomi negara berkembang diprediksi bakal berdampak besar, termasuk Indonesia. Bank Dunia memperkirakan, lebih dari 60% negara berkembang akan mengalami perlambatan ekonomi pada 2025 dengan pertumbuhan rata-rata hanya 3,8%.
Situasi global yang penuh tekanan, seperti perang dagang dan ketidakpastian kebijakan, jadi penyebab utamanya. Indonesia pun tak luput dari efek ini, dengan proyeksi pertumbuhan yang turun di bawah 5%.
Baca juga: Kolaborasi Digital ASEAN Korea: Bikin Dunia Melirik Indonesia dan Asia Tenggara
Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang Diprediksi Terus Melemah
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7% pada 2025 dan 4,8% di 2026. Padahal sebelumnya, ekonomi nasional sempat diprediksi bisa tumbuh hingga 5,1%. Penurunan ini sejalan dengan tren global yang menunjukkan melemahnya daya dorong ekonomi di negara-negara berkembang.
“Negara-negara berkembang di luar Asia kini berubah menjadi zona tanpa pembangunan,” kata Kepala Ekonom Grup Bank Dunia, Indermit Gill, dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2025. Ia menjelaskan bahwa tren perlambatan ini bukan hal baru, karena sudah berlangsung selama tiga dekade terakhir.
Pertumbuhan rata-rata negara berkembang yang dulunya mencapai 6% pada era 2000-an, kini hanya tersisa di bawah 4%. Penurunan ini juga diiringi dengan melemahnya perdagangan global serta laju investasi yang melambat, sementara utang publik justru melonjak tajam.
Apa Kata Ekonom Soal Dampaknya ke Indonesia?
Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Ekonomi di Kadin Indonesia, Aviliani, menyebut bahwa insentif yang diberikan pemerintah saat ini mungkin cukup jika target pertumbuhan hanya 5%. Namun, jika ingin mengejar pertumbuhan 8% seperti ambisi Presiden Prabowo, maka diperlukan peningkatan investasi hingga tiga kali lipat dari saat ini.
“Fokus utamanya belum jelas. Harus ada prioritas agar pertumbuhan bisa menciptakan efek berganda (multiplier effect),” ungkap Aviliani saat menghadiri acara ISEI Young Economist Festival, Rabu (11/6).
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti jika tidak menciptakan lapangan kerja. Banyak investasi saat ini hanya bersifat padat modal, bukan padat karya. Hal ini dinilai kurang efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Aviliani juga menyoroti minimnya kesiapan pemerintah dalam memastikan arah investasi. “Jika ingin fokus ke sektor kesehatan atau sosial, ya harus jelas dari awal. Investor butuh kepastian arah kebijakan,” tambahnya.
Bank Dunia menegaskan bahwa perlambatan ini bisa berakibat besar: memperlambat penciptaan lapangan kerja, menghambat pengentasan kemiskinan, dan memperlebar jurang pendapatan antara negara berkembang dan negara maju. Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia, M. Ayhan Kose, menyarankan negara berkembang memperluas kerja sama dengan mitra baru dan mendorong reformasi ekonomi untuk menjaga stabilitas keuangan.
Baca juga: Koperasi Zaman Now! Merah Putih Tawarkan Solusi Ekonomi Adil di Tengah Krisis
“Ketegangan perdagangan yang meningkat hanya menambah beban. Solusinya adalah integrasi ekonomi lebih luas dan reformasi yang pro-pertumbuhan,” jelas Ayhan.
Jika konflik dagang bisa diselesaikan dan tarif dipangkas separuh, pertumbuhan global bahkan berpotensi naik 0,2 poin persen. Ini bisa jadi momentum penting bagi negara berkembang untuk bangkit dari tekanan ekonomi.
Meski tantangan besar sedang dihadapi, peluang tetap terbuka lebar jika negara berkembang, termasuk Indonesia, mampu menetapkan prioritas dengan jelas, membuka jalur investasi produktif, dan memperkuat kerja sama global. Tanpa langkah konkret, pertumbuhan ekonomi negara berkembang bisa makin tertinggal dari negara maju.
dan ulasan teknologi terbaru, ikuti terus creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.
Leave a Comment