Creativestation.id – Generasi Z atau yang sering disebut Gen Z adalah kelompok yang tumbuh di era digital serba cepat, di mana informasi datang tanpa henti dan ekspektasi sosial terus meningkat. Hidup di dunia yang menuntut kesempurnaan, banyak dari mereka merasa kehilangan arah, kewalahan dengan perbandingan sosial di media, hingga merasa tidak cukup baik. Fenomena ini kemudian melahirkan dua istilah populer overthinking dan quarter life crisis dua hal yang semakin akrab di telinga anak muda zaman sekarang.
Mereka sering terlihat tertawa di media sosial, membuat konten lucu, atau berbagi cerita keseharian yang terlihat bahagia. Namun di balik layar, banyak dari mereka diam-diam berjuang dengan pikiran yang penuh kekhawatiran dan perasaan tidak pasti akan masa depan.
Memahami Overthinking
Overthinking bisa diartikan sebagai kebiasaan berpikir berlebihan menganalisis sesuatu terlalu dalam sampai menimbulkan kecemasan. Bagi Gen Z, kebiasaan ini sering dipicu oleh tekanan untuk menjadi “sempurna”.
Di era digital, perbandingan sosial terjadi setiap detik. Melihat teman sebaya berhasil di usia muda bisa menimbulkan pikiran seperti, ”Kenapa aku belum sampai sana?” atau “Apa aku salah jalan?” akibatnya, otak terus berputar mencari jawaban, bahkan untuk hal yang belum tentu penting.
Psikolog menyebut overthinking sebagai bentuk mekanisme kontrol otak berusaha mencari kepastian dalam dunia yang tidak pasti. Sayangnya, semakin kita mencoba mengontrol pikiran, semakin sulit kita berhenti memikirkannya. Hasilnya? Rasa cemas meningkat, kualitas tidur menurun, dan produktivitas menurun drastis.
Quarter Life Crisis
Istilah quarter life crisis menggambarkan masa krisis identitas dan kebingungan hidup yang biasanya terjadi di usia 20–25 tahun. Fase ini ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kebingungan arah karier, dan ketakutan akan masa depan.
Gen Z sering kali menghadapi quarter life crisis lebih awal dibanding generasi sebelumnya. Alasannya sederhana, mereka hidup di dunia yang sangat cepat berubah. Di satu sisi, mereka punya banyak pilihan karier dan peluang. Namun di sisi lain, terlalu banyak pilihan justru membuat bingung takut salah langkah, takut gagal, atau bahkan takut tidak cukup “hebat”.
Selain itu, tekanan ekonomi dan sosial turut memperparah keadaan. Harga kebutuhan hidup meningkat, lapangan kerja kompetitif, dan dunia digital memunculkan standar keberhasilan baru. Semua itu membuat banyak anak muda merasa hidupnya tidak secepat “timeline” orang lain.
Baca juga: Tren Fashion Gen Z yang Paling Populer Tahun 2025
Kenapa Gen Z Rentan Mengalami Overthinking dan Quarter Life Crisis
1. Paparan Media Sosial yang Berlebihan
Setiap hari Gen Z disuguhi kehidupan “sempurna” orang lain di Instagram atau TikTok. Hal ini memicu perbandingan sosial dan membuat mereka merasa tertinggal.
2. Tekanan untuk Sukses Sejak Dini
Banyak dari mereka merasa harus sukses sebelum usia 25, padahal perjalanan setiap orang berbeda. Tekanan ini menciptakan rasa gagal bahkan sebelum mencoba.
3. Kurangnya Dukungan Emosional
Di tengah perubahan sosial yang cepat, banyak anak muda merasa kesepian meski dikelilingi orang. Mereka sulit menemukan tempat aman untuk berbagi cerita tanpa dihakimi.
4. Ketidakpastian Masa Depan
Perubahan ekonomi global, AI, hingga isu lingkungan menambah beban pikiran. Masa depan terasa kabur dan sulit dikendalikan.
Cara Gen Z Menyembuhkan Diri dari Overthinking dan Quarter Life Crisis
1. Belajar Menerima Bahwa Hidup Tidak Selalu Harus Pasti
Kepastian adalah hal yang sering dikejar oleh orang yang overthinking. Padahal, hidup memang penuh ketidakpastian. Belajar menerima hal itu akan membuat pikiran lebih ringan. Fokuslah pada apa yang bisa dikendalikan hari ini, bukan pada kemungkinan buruk di masa depan.
2. Batasi Perbandingan Sosial
Media sosial sering menjadi pemicu utama rasa cemas. Cobalah melakukan digital detox — berhenti sejenak dari media sosial atau mengikuti akun yang lebih sehat secara mental. Ingat, apa yang kamu lihat online hanyalah potongan kecil dari kehidupan orang lain, bukan keseluruhan cerita mereka.
3. Tulis Pikiranmu (Journaling)
Menulis adalah terapi sederhana yang bisa membantu menata pikiran. Dengan menuliskan kekhawatiran, kamu bisa melihatnya dari sudut pandang yang lebih objektif. Kadang, masalah yang terlihat besar di kepala ternyata tidak sebesar itu ketika ditulis di kertas.
4. Cari Dukungan yang Nyata
Jangan menanggung beban sendirian. Bicarakan perasaanmu kepada teman dekat, keluarga, atau bahkan profesional seperti psikolog. Gen Z dikenal terbuka terhadap terapi — dan itu adalah hal positif yang perlu diteruskan.
5. Temukan Makna di Balik Kegagalan
Alih-alih takut gagal, ubahlah cara pandangmu terhadap kegagalan. Gagal bukan berarti kalah, tapi bagian dari proses belajar. Setiap pengalaman buruk bisa menjadi bahan bakar untuk bertumbuh.
6. Praktikkan Mindfulness
Latihan mindfulness atau kesadaran diri membantu kamu fokus pada saat ini, bukan pada masa lalu atau masa depan. Aktivitas seperti meditasi, yoga, atau sekadar berjalan tanpa gadget bisa membantu menenangkan pikiran.
Mengalami overthinking dan quarter life crisis bukan tanda kelemahan justru tanda bahwa kamu sedang berproses menjadi pribadi yang lebih sadar dan matang. Setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk berkembang.
Gen Z dikenal sebagai generasi yang kreatif, kritis, dan adaptif. Namun, mereka juga manusia yang berhak merasa lelah. Jadi, beri ruang untuk istirahat dan refleksi. Karena pada akhirnya, penyembuhan bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang menerima diri sendiri apa adanya dan terus melangkah, meski pelan.
Baca juga: Alasan Gen Z Rajin Self Reward dan Manfaatnya Buat Mental Health









Leave a Comment