MALANG – Saya mau mulai dari satu pertanyaan sederhana: kenapa TNI tiba-tiba ikut mengurus urusan sipil? Kasus Ferry Irwandi jelas menunjukkan ada yang aneh. Brigjen TNI Juinta Omboh Sembiring, Komandan Satuan Siber TNI, dengan percaya diri bilang mereka menemukan fakta dugaan pidana terkait Ferry.
Padahal kalau kita jujur, tentara bukan aparat penegak hukum. Tugas dasar mereka itu perang, menjaga kedaulatan, melawan musuh bersenjata. Bukan urus algoritma, coding, atau proyek digital yang dikembangkan warga sipil. Jadi waktu saya dengar klaim Dansatsiber TNI, saya langsung curiga ada sesuatu yang tidak beres atau janggal.
Dan kamu perlu sadar, ini bukan hal sepele. Kalau hari ini tentara bisa ngomong soal pidana algoritma, besok bisa jadi ada banyak orang yang tiba-tiba dianggap ancaman hanya karena bikin sistem digital. Itu bukan cuma salah kaprah, tapi ancaman nyata bagi masa depan demokrasi kita.
TNI dan Batas Hukum Konstitusi
Kalau kamu buka konstitusi, semuanya jelas. Pasal 30 UUD 1945 bilang TNI itu alat negara di bidang pertahanan. Lalu UU No. 34 Tahun 2004 menegaskan bahwa operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan terbatas, dan itu pun harus ada permintaan resmi dari Polri atau pemerintah.
Artinya, TNI tidak bisa seenaknya masuk ke ranah sipil. Mahkamah Konstitusi juga sudah pernah bilang lewat Putusan No. 20/PUU-XI/2013: TNI tidak boleh langsung menangani perkara sipil. Jadi kalau Dansatsiber TNI tiba-tiba bilang mereka menemukan dugaan pidana, itu sudah melangkahi hukum yang berlaku.
Saya mau tekankan ke kamu. Ini bukan sekadar perdebatan akademis. Ini soal batas yang sudah kita bangun sejak reformasi. Batas antara sipil dan militer harus jelas. Kalau itu dilanggar, kita akan kembali ke masa kelam di mana militer bebas cawe-cawe urusan rakyat.
Ancaman RUU TNI dan Celah Otoritarianisme
Kamu mungkin bertanya-tanya, kok bisa TNI sekarang percaya diri banget ikut urusan sipil? Jawabannya ada di RUU TNI yang sedang dibahas DPR. Isinya memberi kewenangan ke TNI untuk menangani ancaman non-militer yang definisinya kabur, mulai dari siber, ideologi, sampai proyek strategis nasional.
Masalahnya, apa itu ancaman ideologi? Apa itu ancaman siber? Semua istilahnya ngambang. Kalau saya bikin sistem voting independen, apakah itu dianggap gangguan stabilitas?
Kalau kamu bikin aplikasi anti-korupsi, apakah itu bisa disebut ancaman ideologi? Celah kayak gini bisa dipakai semena-mena.
Dan ironisnya, RUU ini tidak disosialisasikan secara serius ke publik. Kita sibuk dengan urusan sehari-hari, sementara DPR diam-diam menyiapkan payung hukum yang bisa dipakai militer untuk masuk lebih jauh ke ranah sipil. Kalau ini lolos, kamu dan saya bakal hidup di bawah bayang-bayang kontrol militer digital.
Pola Intervensi Militer dalam Ranah Sipil
Kalau kamu pikir kasus Ferry Irwandi ini unik, kamu salah. Ada polanya. Tahun 2022, intelijen TNI disebut memata-matai jurnalis dan LSM di Papua. Tahun 2023, Dansatsiber sudah mulai ikut campur diskusi soal pengamanan pemilu digital. Lalu 2024, muncul revisi UU TNI dan Polri yang justru memperkuat otoritas militer.
Sekarang 2025, kasus Ferry jadi bukti lanjutan. Istilah baru yang dipakai yaitu pidana algoritma. Bukan makar, bukan sabotase, bukan penyanderaan. Cuma karena seseorang punya sistem canggih, langsung dicap ancaman. Saya yakin kamu bisa lihat betapa bahayanya tren ini.
Polanya jelas. Semakin maju dunia digital kita, semakin besar juga ambisi militer untuk masuk ke dalamnya. Kalau tidak dihentikan, cepat atau lambat kita akan menghadapi rezim yang bisa menuduh siapapun musuh negara hanya karena terlalu pintar bikin teknologi.
Militerisme Digital dan Masa Depan Demokrasi
Kenapa militer begitu ngotot masuk ranah digital? Menurut saya jawabannya sederhana. Hal ini dikarenakan dunia digital merupakan medan perang baru. Di sana ada informasi, opini, dan narasi. Siapa yang bisa mengendalikan itu, dialah yang bisa mengendalikan arah politik.
Masalahnya, kalau narasi digital sepenuhnya dikuasai tentara, apa jadinya dengan kebebasan kamu? Apa jadinya dengan saya yang sekadar ingin bertanya? Aktivis bisa bungkam, programmer bisa ragu meluncurkan project, mahasiswa bisa takut riset teknologi. Semua orang akhirnya memilih diam dan acuh tak acuh.
Kasus Ferry Irwandi harus kita lihat sebagai alarm. Demokrasi sehat hanya bisa bertahan kalau ada batas tegas, yaitu tentara untuk pertahanan dan sipil untuk hukum. Jika batas ini dibaurkan, maka kamu dan saya akan hidup di negara algoritma militer. Sebuah negara yang tidak lagi menakut-nakuti dengan tank, tapi dengan coding.
Baca Juga: Dua Nyawa, Dua Negara, Tapi Kenapa Kronologi Kematian Mereka Rasanya Terlalu Mirip?









Leave a Comment