creativestation.id – Fenomena generasi milenial yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif bukan lagi hal baru. Di balik kerapnya mereka tampil trendi, ngopi di kafe hits, atau berlibur ke destinasi eksotis, tersembunyi realitas finansial yang tak selalu sejalan.
Lalu, apa yang sebenarnya membuat milenial rentan terjebak dalam pola hidup seperti ini? Berikut analisisnya.
Generasi milenial, atau mereka yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996, tumbuh di era transisi teknologi yang pesat. Media sosial, sebagai salah satu penopang utama kehidupan digital saat ini, menjadi salah satu pemicu utama gaya hidup konsumtif.
Kehidupan yang tampak “sempurna” di Instagram, TikTok, dan platform lainnya menciptakan tekanan sosial tersendiri. Banyak milenial merasa terdorong untuk mengikuti standar visual dan gaya hidup yang ditampilkan demi eksistensi.
“Media sosial membentuk standar kesuksesan dan kebahagiaan yang tidak selalu realistis. Ini memicu keinginan untuk tampil seolah-olah berhasil, walau secara finansial belum tentu mampu,” ungkap Dr. Mira Santosa, seorang psikolog sosial.
Faktor lain yang memperparah kondisi ini adalah rendahnya literasi keuangan. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya sekitar 38% milenial Indonesia memiliki pemahaman yang memadai terkait pengelolaan keuangan pribadi.
Banyak dari mereka tidak memiliki anggaran bulanan, tidak menabung secara rutin, dan seringkali tergoda membeli barang berdasarkan tren, bukan kebutuhan.
Kemudahan akses kredit juga berperan penting. Kemunculan layanan paylater, pinjaman online, dan kartu kredit membuat konsumsi instan semakin mudah dilakukan.
Namun, hal ini seringkali berujung pada tumpukan utang yang tak terkendali. Menurut data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), pengguna layanan paylater didominasi oleh usia 25–35 tahun, sebagian besar diantaranya mengalami keterlambatan pembayaran lebih dari satu bulan.
baca juga: Gen Z Melek Finansial, Aplikasi Budgeting yang Lagi Viral
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Bima Hadi, menambahkan bahwa tekanan lingkungan dan tuntutan untuk “terlihat sukses” adalah pemicu utama.
“Bagi milenial urban, eksistensi sosial kini seolah diukur dari barang bermerek, tempat hangout, hingga perjalanan liburan. Ini menjadi bagian dari identitas yang dibangun secara digital,” jelasnya.
Namun, tidak semua milenial larut dalam gaya hidup konsumtif. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan keuangan mulai terlihat.
Banyak komunitas dan startup keuangan kini menawarkan edukasi finansial yang dikemas dengan pendekatan milenial-friendly, seperti melalui podcast, video pendek, hingga workshop daring.
Pakar keuangan Prita Ghozie menyarankan agar milenial mulai menerapkan prinsip keuangan sehat, seperti budgeting, menabung minimal 20% dari penghasilan, serta membatasi penggunaan kartu kredit.
“Gaya hidup boleh kekinian, tapi harus tetap sesuai kemampuan. Jangan sampai demi terlihat ‘wah’, masa depan jadi taruhannya,” ujarnya.
Dengan meningkatnya kesadaran finansial dan kontrol terhadap pengaruh sosial, milenial diharapkan mampu keluar dari jerat gaya hidup semu dan mulai membangun pondasi keuangan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Ikuti terus perkembangan gaya hidup generasi lainnya hanya di Creativestation.id – Wadah Inspirasi, Inovasi, dan Ekonomi Masa Depan.
Leave a Comment