MALANG – Narasi ini bukan ramalan, melainkan pembacaan pola. Bukan karena Ferry Irwandi itu istimewa, tetapi karena ia menjadi simbol dari pola lama yang kini dimodernisasi. Jika kita tidak peka sekarang, maka korban berikutnya bisa siapa saja, asal cukup lantang, cukup kritis, dan cukup paham cara kerja negara.
Peristiwa yang menimpa Ferry Irwandi tidak hanya menyangkut satu individu. Ini tentang bagaimana negara merespons kritik: bukan selalu dengan cara terang-terangan, tetapi sering melalui celah hukum, propaganda digital, dan tekanan psikologis yang sistematis. Jejak sejarah menunjukkan bahwa pola pembungkaman lama hanya berubah bentuk, bukan hilang.
Pertanyaannya bukan sekadar apakah kita membela Ferry atau tidak. Pertanyaannya adalah: apakah kita rela membiarkan pola seperti ini menjadi normal? Jika jawabannya tidak, maka membaca pola, mengenali ancaman, dan menyiapkan strategi perlawanan adalah langkah yang mendesak.
Ferry Irwandi sebagai Ancaman Sipil
Ferry tidak hadir dalam peta politik formal. Dia bukan pejabat partai atau aktivis yang berafiliasi pada struktur tertentu. Namun, latar belakangnya sebagai mantan orang dalam pemerintahan dan kemampuannya merangkai data membuat suaranya berbeda. Ketika kritiknya diarahkan ke praktik-praktik yang melibatkan elite, masyarakat biasa mudah tersentuh karena argumennya sederhana tetapi terukur.
Kekuatan seperti ini justru bikin panik aktor negara yang terbiasa mengendalikan narasi melalui kanal tradisional. Ketika suara warga sipil menjadi berbasis bukti dan menyentuh rasa keadilan publik, mekanisme pembungkaman harus beradaptasi. Bukan lagi tentang melarang berkumpul atau mematikan media, melainkan mengelola opini publik dengan teknik yang lebih halus.
Masyarakat harus memahami bahwa ancaman ini berbeda bentuknya dari persekusi klasik. Ia bukan sekadar serangan politik, tetapi ia adalah upaya sistemik untuk menyingkirkan kredibilitas aktor kritis, sehingga kritik yang sebenarnya relevan kehilangan rezonansi di ruang publik.
Negara Panik tapi Kaku
Respon keras dari institusi formal, termasuk pernyataan militer atau penuntutan hukum seringkali menandai kegelisahan. Namun ketika upaya itu gagal karena hambatan hukum atau reaksi publik, aktor negara dihadapkan pada masalah baru: bagaimana menenangkan keresahan tanpa terlihat otoriter.
Kegagalan untuk menangkap atau menjerat secara terang-terangan bukan berarti upaya berhenti. Justru sebaliknya: kegagalan membuat pendekatan bergeser ke modus operasi yang lebih terselubung. Ini bukan tanda kelemahan negara semata, melainkan penyesuaian taktik untuk tetap mencapai tujuan yaitu mendiamkan kritik dengan risiko reputasi yang lebih kecil.
Untuk publik, gagalnya upaya formal seharusnya jadi alarm bahwa ancaman tidak lenyap; ia berubah wujud. Ketika jalur resmi buntu, strategi lain yang lebih licin akan muncul: hukum yang dilucuti, operasi psikologis, hingga kriminalisasi yang tampak legal.
PsyOps dan Delegitimasi
Langkah pertama biasanya adalah membentuk narasi yang merendahkan pelapor atau pengkritik. Media sosial jadi arena utama: potongan video yang dikontekskan ulang, narasi motif pribadi, atau klaim kesehatan mental jadi alat untuk menghapus kredibilitas.
Yang berbahaya adalah profesionalisasi proses ini. Buzzer terorganisir, template narasi, dan teknik edit video meningkatkan efektivitas. Ini bukan sekadar troll acak; ini industri opini berbayar yang menargetkan persepsi publik agar isu penting tidak lagi dianggap relevan.
Kita perlu menyadari bahwa delegitimasi psikologis bekerja pada level emosional. Ia mengubah amarah yang seharusnya tertuju pada masalah struktural menjadi antipati pada figur yang membongkar masalah tersebut.
Pasal Siluman
Jika delegitimasi gagal mempan, jalur hukum dipoles agar terlihat sahih. Laporan dari “warga” yang tersinggung, tuduhan penghinaan, atau pasal ITE seringkali dipilih karena cepat, ambigu, dan berdampak signifikan pada kehidupan digital seorang individu.
Strategi ini memanfaatkan celah-celah hukum yang multitafsir serta praktik administratif di mana proses dapat dijalankan di luar sorotan media. Melokalisasi proses di daerah terpencil atau memanfaatkan birokrasi yang lambat efektif untuk mengurangi sorotan publik.
Akibatnya, publik menghadapi dua masalah: pertama, fokus bergeser dari substansi kritik ke proses hukum; kedua, beban pembelaan hukum menguras energi dan sumber daya figur yang dikriminalisasi.
Baca Juga: Ibu Sumarsih Angkat Bicara Soal Kasus Ferry Irwandi, Ingatkan Bahaya Intervensi Militer
Fitnah Non-Politik
Ketika strategi hukum langsung tidak mencukupi, muncul upaya yang lebih halus: menciptakan narasi kriminal non-politik yang tampak tak terkait dengan aktivitas kritik. Tuduhan penipuan, utang, atau narkoba bisa dipakai untuk menarik simpati publik menjauh dari isu substantif.
Rekayasa semacam ini sering kali melibatkan “saksi baru” atau dokumen yang muncul belakangan. Meski asal-usul bukti diragukan, efeknya bagi opini publik bisa dramatis; orang cenderung kehilangan empati jika figur publik diposisikan sebagai pelaku kesalahan personal.
Untuk menahannya, koalisi pendukung harus siap memeriksa bukti, memverifikasi klaim, dan menampilkan konteks historis yang relevan, karena logika sederhana publik seringkali lebih dipengaruhi oleh narasi personal daripada argumen struktural.
Tekanan Fisik
Jika semua strategi sebelumnya tidak mempan, cara yang dipilih biasanya adalah tekanan fisik dalam tingkat yang cukup untuk menakut-nakuti namun tidak memancing perhatian internasional. Vandalisme, ancaman melalui telepon, atau gangguan pada keluarga jadi alat untuk meredam keberanian.
Taktik ini mengeksploitasi aspek psikologis: merusak rasa aman dan menimbulkan kecemasan terus-menerus. Tujuannya bukan membunuh, melainkan membuat target mundur atau memilih kompromi.
Publik harus melihat pola ini sebagai sinyal bahaya: bukan soal satu kejadian, melainkan rangkaian yang jika dibiarkan akan mengikis ruang kebebasan berpendapat.
Fase Ekstrem
Walau relativ kecil probabilitasnya, sejarah memperlihatkan kasus-kasus di mana pembungkaman berujung pada kematian yang disamarkan. Modus seperti “kecelakaan tunggal” atau klaim bunuh diri setelah tuduhan moral dapat dipakai untuk menutup kasus secara efektif.
Di era digital, risiko tindakan ekstrem ini meningkat karena potensi ledakan protes internasional. Namun justru karena hal itu, metode modern cenderung memprioritaskan operasi yang meninggalkan jejak minimal dan memaksimalkan narasi yang menguntungkan pihak berkuasa.
Karena itu, kesiapsiagaan dan dokumentasi independen menjadi kunci: publik dan organisasi harus mencatat segala bentuk intimidasi sejak dini untuk mengurangi celah impunitas.
Kambing Hitam
Praktik penunjukan kambing hitam memudarkan jejak aktor sesungguhnya. Dengan menempatkan pelaku kelas bawah sebagai tersangka, narasi bisa diputar bahwa hukum berlaku adil, padahal struktur kekuasaan yang lebih tinggi luput dari pemeriksaan.
Sejarah memperlihatkan pola ini berulang: staf rendahan diposisikan sebagai pelaku utama, sementara aktor intelektual atau pengambil kebijakan tetap aman. Akibatnya publik terjebak pada cerita yang tidak menyentuh inti masalah.
Melawan trik ini memerlukan ketajaman advokasi hukum dan jurnalisme investigatif yang mampu mengikuti aliran bukti sampai ke sumber kekuasaan sesungguhnya.
Prediksi dan Perlawanan
Prediksi yang paling logis: digital smear campaign, laporan hukum yang dipolitisasi, rekayasa bukti, intimidasi fisik, dan dalam kondisi ekstrim upaya menghilangkan kredibilitas secara permanen. Mengetahui pola ini memungkinkan kita mengantisipasi dan merespons dengan lebih cepat.
Strategi perlawanan harus multipronged: edukasi publik untuk inoculation terhadap psyops; pembangunan jaringan solidaritas yang melibatkan jurnalis, pengacara, akademisi, dan komunitas sipil; serta penggunaan kerangka hukum yang melindungi whistleblower. Ini bukan hanya soal membela satu orang, tetapi soal mempertahankan ruang publik kritis.
Jika kamu bertanya apa yang bisa dilakukan sekarang: dokumentasikan setiap serangan, sebarkan konteks faktual, dan bangun narasi kolektif yang tidak bergantung pada satu tokoh. Ferry Irwandi mungkin menjadi fokus pembacaan ini, tetapi yang lebih penting adalah pola yang tergambar. Jika sejarah berulang, kita punya pilihan: menonton atau bertindak. Saya memilih untuk bertindak; kamu mau bagaimana?
Baca Juga: Militer Kok Ikut Urusan Sipil? Kasus Ferry Irwandi Jadi Alarm Serius
Leave a Comment