Creativestation.id – Di tengah euforia kemajuan teknologi dan ketergantungan yang kian mendalam masyarakat pada perangkat digital, sebuah ancaman siber baru—dan semakin mengkhawatirkan—terhadap konsumen telah muncul ke permukaan.
Laporan komprehensif Consumer Cyber Readiness Report 2025, yang baru saja dirilis oleh tiga lembaga advokasi terkemuka asal Amerika Serikat—Consumer Reports, Aspen Digital, dan Global Cyber Alliance—menyoroti adanya peningkatan signifikan dalam praktik penipuan digital yang kini beralih fokus ke saluran komunikasi paling personal: pesan singkat dan aplikasi chat.
Penelitian tersebut secara khusus menggambarkan bagaimana masyarakat, terutama Generasi Z (Gen Z) yang berusia antara 18 hingga 29 tahun, telah menjadi kelompok paling rentan terhadap modus penipuan ini. Ironisnya, Gen Z adalah generasi yang paling akrab dengan dunia digital dan media sosial.
Laporan ini merupakan hasil survei yang dilaksanakan bersama National Opinion Research Center (NORC) dari University of Chicago, melibatkan ribuan responden dari berbagai latar belakang, yang tujuannya adalah mengidentifikasi tren dan kerentanan siber di tengah masyarakat.
Transformasi Modus Penipuan Menuju Pesan Singkat
Laporan Consumer Cyber Readiness Report disusun berdasarkan analisis dari dua survei besar yang dilaksanakan pada April dan Mei 2025. Melalui Panel AmeriSpeak, survei pertama melibatkan 2.158 orang dewasa, sedangkan survei kedua mencakup 2.333 responden.
Data dari kedua survei ini dengan jelas mengidentifikasi tren yang mengkhawatirkan: penipuan digital semakin terfokus pada saluran komunikasi pribadi yang dianggap cepat dan tidak formal, seperti email, media sosial, dan terutama aplikasi pesan singkat.
Hasilnya sangat mencolok. Ditemukan bahwa 74% dari seluruh upaya penipuan yang menimpa warga Amerika terjadi melalui kanal komunikasi digital. Angka ini menunjukkan bahwa modus kejahatan siber kini telah mendominasi interaksi online sehari-hari.
Yang paling signifikan adalah lonjakan laporan penipuan yang terjadi melalui pesan teks. Laporan tersebut mencatat bahwa kasus penipuan melalui pesan teks melonjak tajam dari 20% menjadi 30% dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Artinya, hampir satu dari tiga orang dewasa mengaku pernah menjadi korban atau setidaknya menerima upaya penipuan digital melalui pesan singkat. Fenomena ini mengindikasikan bahwa para pelaku kejahatan siber kini telah berhasil menemukan titik lemah baru dalam komunikasi digital massal.
Mengapa Gen Z, Sang Digital Native, Justru Menjadi Korban Utama?
Generasi Z, kelompok yang secara harfiah tumbuh bersama internet dan smartphone, secara mengejutkan disebut sebagai kelompok yang paling sering menjadi korban penipuan digital berbasis pesan teks.
Laporan menunjukkan adanya kenaikan kasus penipuan hingga 27% yang menimpa Gen Z dibanding tahun sebelumnya. Fakta ini membantah asumsi umum bahwa keakraban dengan teknologi secara otomatis menjamin keamanan siber.
Jason Dorsey, Presiden Center for Generational Kinetics, memberikan penjelasan mendalam mengenai tiga alasan utama di balik kerentanan Gen Z:
Baca Juga: Kenapa Putus Cinta Bisa Bikin Sakit Fisik? Ini Jawaban Sains
- Volume Interaksi yang Tinggi: Pesan teks dan aplikasi chat adalah saluran komunikasi utama bagi generasi ini, dengan ratusan interaksi terjadi setiap hari. Volume komunikasi yang tinggi ini secara statistik memberikan para penipu ratusan peluang setiap hari untuk menyusupkan pesan palsu di antara pesan asli.
- Kebingungan dalam Komunitas Digital: Gen Z sering tergabung dalam banyak grup besar di aplikasi pesan dan media sosial, yang mencakup teman, keluarga, kolega, hingga komunitas online. Keterlibatan dalam banyak grup ini berpotensi menimbulkan kebingungan dalam membedakan antara nomor telepon yang benar-benar dikenal dan nomor asing atau penipu.
- Akses Instan ke Uang Digital: Generasi ini adalah pelopor dalam penggunaan dompet digital, mobile banking, dan transaksi tap-to-pay. Mereka memiliki akses instan ke dana dan informasi finansial di ponsel mereka, membuat proses penipuan—seperti meminta transfer cepat dengan kedok darurat—lebih cepat berhasil dan sulit dibatalkan.
Kecanggihan Modus dan Penurunan Kewaspadaan Publik
Modus penipuan digital saat ini tidak lagi terbatas pada SMS konvensional dengan format yang mudah dikenali. Kejahatan kini merambah aplikasi pesan populer seperti WhatsApp, iMessage, dan Google Messages.
Penipu menggunakan berbagai pendekatan yang semakin canggih dan meyakinkan, mulai dari pesan berisi tautan palsu (phishing) yang meniru lembaga resmi, hingga permintaan transfer uang dengan kedok kerabat yang sedang mengalami darurat atau masalah hukum.
Kecanggihan teknologi, yang seharusnya mempermudah komunikasi dan meningkatkan keamanan, justru dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab.
Dorsey menambahkan bahwa kini banyak orang mulai menganggap menerima pesan penipuan kecil sebagai hal yang “normal” karena begitu seringnya terjadi.
Fenomena ini sangat mengkhawatirkan karena mengindikasikan adanya penurunan kewaspadaan publik secara umum terhadap keamanan digital pribadi. Penurunan ini adalah celah emas bagi para penipu untuk melancarkan aksinya.
Solusi dan Langkah Pencegahan Mendesak
Para ahli keamanan siber yang terlibat dalam laporan ini sepakat bahwa untuk menekan angka penipuan digital yang terus meningkat, diperlukan intervensi multidimensi dan mendesak. Peningkatan literasi digital secara masif dan berkelanjutan menjadi kunci utama.
Edukasi harus dimulai sejak dini di kalangan pelajar dan mahasiswa. Materi edukasi harus meliputi:
- Pengenalan Tanda Mencurigakan: Pelatihan untuk mengidentifikasi tata bahasa yang tidak biasa, call-to-action yang mendesak, atau tautan yang mencurigakan dalam pesan.
- Verifikasi Identitas: Penekanan pada pentingnya verifikasi dua langkah atau menghubungi pengirim melalui saluran komunikasi lain (misalnya telepon) sebelum menanggapi permintaan yang melibatkan uang atau data pribadi.
- Perlindungan Data Pribadi: Pemahaman mendalam tentang risiko berbagi informasi sensitif di platform chat dan media sosial.
Selain itu, kolaborasi antara sektor teknologi, pemerintah, dan lembaga keamanan siber harus diperkuat.
Sejumlah produsen perangkat digital telah menyediakan fitur tambahan untuk memblokir spam dan mendeteksi pesan mencurigakan; namun, efektivitasnya belum sepenuhnya mampu menekan jumlah kasus.
Pemerintah, melalui kementerian terkait dan lembaga pendidikan, harus bekerja sama dengan penyedia layanan digital untuk:
- Memperkuat Kesadaran Keamanan Siber: Melalui kampanye nasional yang menargetkan Gen Z di platform yang mereka gunakan.
- Pengembangan Fitur Keamanan: Mendorong perusahaan teknologi untuk mengembangkan fitur pemblokiran pesan penipuan berbasis AI yang lebih akurat.
- Penegakan Hukum: Menindak tegas pelaku penipuan digital untuk memberikan efek jera.
Fenomena maraknya penipuan melalui pesan singkat ini menjadi cermin bahwa kesiapan siber bukan hanya soal teknologi, tetapi juga perilaku bijak dalam berkomunikasi dan bertransaksi di dunia maya.
Gen Z, sebagai digital native, perlu memahami bahwa kemudahan akses informasi dan transaksi harus diimbangi dengan sikap hati-hati dan kewaspadaan yang tinggi. Masa depan ekonomi digital Indonesia sangat bergantung pada keamanan siber konsumennya.
Ikuti terus cerita inspiratif, inovasi lokal, dan aksi sosial berdampak hanya di Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.
Baca Juga: Overthinking, Quarter Life Crisis, dan Cara Gen Z Menyembuhkannya
Leave a Comment