Creativestation.id – Pemerintah Indonesia telah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebagai bagian dari komitmen perlindungan lingkungan dan wilayah konservasi. Namun, langkah ini dinilai belum tuntas. Direktur Institut Usba, Charles Imbir, menyebut kebijakan tersebut sebagai “kemenangan semu”, karena Izin Usaha Pertambangan PT Gag Nikel masih tetap berlaku dan operasional tambang tetap berjalan di Pulau Gag.
Izin Usaha Pertambangan PT Gag Nikel Dinilai Diskriminatif
Pencabutan IUP terhadap PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham diumumkan pemerintah usai rapat terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto pada 9 Juni 2025. Namun PT Gag Nikel, anak usaha BUMN PT Antam Tbk, tetap diizinkan beroperasi di pulau kecil yang secara hukum sebenarnya dilindungi.
Baca juga: Menanam 10 Ribu Pohon di Bogor vs Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
“Ini kemenangan semu! Selama Izin Usaha Pertambangan PT Gag Nikel masih berlaku, pemerintah justru menunjukkan hukum hanya berlaku untuk perusahaan kecil, sementara BUMN dibiarkan melanggar,” ujar Charles Imbir dalam pernyataan tertulisnya pada Kamis, 12 Juni 2025.
Menurut Charles, keputusan pemerintah memperlihatkan sikap tidak adil dan inkonsisten dalam menegakkan konstitusi. Ia menilai bahwa keberadaan PT Gag Nikel di Pulau Gag melanggar berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang tegas melarang aktivitas tambang di pulau kecil.
Charles menegaskan perlunya audit lingkungan oleh lembaga independen internasional guna mengetahui seberapa besar dampak kerusakan yang telah ditimbulkan oleh tambang nikel di Pulau Gag. “Audit ini penting agar tidak hanya berdasarkan asumsi atau dokumen teknis dari perusahaan sendiri,” katanya.
Institut Usba juga menuntut pemulihan menyeluruh setelah pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT Gag Nikel, termasuk reklamasi tanah, vegetasi, topografi, hingga pemulihan sosial ekonomi masyarakat terdampak. “Hak masyarakat adat, ekosistem laut, dan warisan dunia harus lebih berharga dari keuntungan sesaat,” tambah Charles.
Selain itu, mereka mendesak dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat adat Raja Ampat yang difasilitasi langsung oleh Wakil Presiden RI. Langkah ini dianggap penting untuk menciptakan solusi berkelanjutan atas konflik antara pertambangan dan kelestarian wilayah konservasi.
Pemerintah Dinilai Tak Independen
Salah satu kritik utama Charles terhadap pemerintah adalah konflik kepentingan karena PT Gag Nikel merupakan anak usaha negara. “Pemerintah tidak bisa menjadi wasit dan pemain dalam waktu bersamaan,” tegasnya. Ia menilai penilaian pemerintah terhadap kelayakan operasi tambang milik sendiri tidak bisa objektif.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, sebelumnya menyatakan bahwa PT Gag Nikel tidak termasuk dalam pencabutan karena memiliki kontrak karya sejak 1998, serta telah melalui evaluasi legal dan teknis. Namun Charles menyebut pernyataan ini tidak mencerminkan political will pemerintah untuk menegakkan konstitusi.
“Pernyataan Menteri ESDM tersebut menunjukkan sikap inkonsistensi dan tidak adanya kemauan politik untuk menegakkan konstitusi,” pungkasnya.
Institut Usba menegaskan bahwa pencabutan sebagian izin tambang tidak bisa disebut keberhasilan bila masih ada satu entitas yang dibiarkan melanggar prinsip keadilan ekologis. Mereka menyerukan agar masyarakat luas tetap mengawasi dan mendesak pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT Gag Nikel sebagai langkah nyata menuju keberlanjutan lingkungan di Raja Ampat.
Untuk berita bisnis dan ulasan teknologi terbaru, ikuti terus creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.
Leave a Comment