Memberi Buah Tangan saat Sidang Skripsi: Tradisi atau Gratifikasi Terselubung?

Syarifah

May 2, 2025

3
Min Read
Memberi Buah Tangan saat Sidang Skripsi: Tradisi atau Gratifikasi Terselubung?
(Dok. Creative Station/Syarifah)

Creativestation.id – Di banyak kampus Indonesia, masih lumrah ditemukan mahasiswa yang membawa buah tangan saat ujian skripsi berlangsung. Namun, praktik ini kini menjadi sorotan karena dianggap menyimpang dari prinsip akademik yang menjunjung objektivitas, bahkan bisa dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi.

Tradisi yang Menyimpan Polemik

Tidak ada aturan tertulis yang mewajibkan mahasiswa membawa kue, snack box, atau hampers saat ujian skripsi. Namun, di sejumlah perguruan tinggi, praktik ini dianggap “sopan santun akademik” dan telah berlangsung bertahun-tahun.

Padahal, menurut Surat Edaran Kemenristekdikti Nomor 108/B/SE/2017, pemberian dalam bentuk apapun kepada dosen termasuk makanan dapat dikategorikan sebagai gratifikasi dan dilarang dalam proses pendidikan tinggi.

Universitas Riau (UNRI) bahkan menguatkan hal ini lewat Surat Edaran Rektor No. 6827/UN19/SE/2023 yang secara eksplisit melarang mahasiswa membawa konsumsi atau hadiah dalam sidang skripsi karena dianggap membebani mahasiswa.

Antara Apresiasi dan Tekanan

Motif utama mahasiswa umumnya adalah sebagai bentuk terima kasih. Namun, tidak sedikit yang merasa terpaksa mengikuti kebiasaan ini karena tekanan sosial.

Sebagaimana dilaporkan oleh Mojok.co, seorang mahasiswa bahkan pernah menjual cincin ibunya demi bisa membeli makanan untuk dosen pengujinya. Ini memperlihatkan bahwa budaya “nyuguh” bisa menjadi beban emosional dan finansial bagi sebagian mahasiswa.

Baca juga: Krisis Moral di Tengah Kemajuan Teknologi, Jadi Tantangan Besar Masyarakat?!

Buah Tangan Sidang: Bentuk Terima Kasih yang Salah Tempat?

Praktik membawa makanan atau bingkisan saat sidang juga membuka celah konflik kepentingan. Dosen penguji seharusnya menilai karya ilmiah secara objektif dan profesional. Ketika ada pemberian dalam bentuk apapun sebelum penilaian selesai, potensi bias dapat muncul, baik disadari maupun tidak.

Dalam konteks ini, tradisi buah tangan tidak lagi sekadar “budaya”, melainkan bisa memengaruhi integritas akademik.

Opini Kritis: Saatnya Evaluasi Tradisi

Sebagai penulis, saya memandang praktik memberi buah tangan saat sidang skripsi bukan hanya tidak etis, tetapi juga berbahaya bagi integritas akademik. Tradisi ini, meskipun sering dianggap sebagai bentuk sopan santun atau ucapan terima kasih, sejatinya berada di wilayah abu-abu antara penghargaan dan gratifikasi.

Sidang skripsi adalah momen evaluasi akademik yang harus berlangsung dalam suasana objektif, netral, dan bebas tekanan. Ketika mahasiswa datang membawa bingkisan kepada dosen penguji saat sidang berlangsung, itu dapat menciptakan konflik kepentingan yang merusak nilai kejujuran akademik.

Pemberian semacam itu bisa ditafsirkan sebagai upaya memengaruhi penilaian, meskipun tidak disengaja. Ini bukan sekadar urusan niat, tetapi juga tentang waktu dan konteks yang sangat menentukan etis atau tidaknya suatu tindakan.

Jika memang ingin menyampaikan rasa terima kasih, mahasiswa bisa melakukannya setelah dinyatakan lulus sepenuhnya, misalnya pada momen wisuda.

Saat itu, posisi dosen dan mahasiswa tidak lagi berada dalam hubungan langsung yang memengaruhi hasil akademik. Memberi bingkisan pada saat tersebut jauh lebih elegan, bebas dari tekanan sosial, dan tidak menyalahi prinsip evaluasi yang adil.

Budaya buah tangan saat sidang skripsi harus dievaluasi ulang. Ini bukan sekadar kebiasaan sepele, melainkan cerminan dari seberapa teguh kita menjunjung nilai-nilai akademik dan menolak segala bentuk pembiasaan gratifikasi dalam institusi pendidikan tinggi.

Ikuti terus perkembangan budaya pendidikan dan etika akademik hanya di Creativestation.id – Wadah Inspirasi, Inovasi, dan Ekonomi Masa Depan.

Baca juga: Live Streaming Pakai AI, Host Manusia Terancam?

Leave a Comment

Related Post