Creativestation.id – Fenomena manusia tikus di China bukan cuma soal gaya hidup menyendiri. Di balik meme, video lucu, dan candaan di medsos, ada kenyataan pahit tentang tekanan hidup, kehilangan harapan, dan keinginan untuk “bernafas” dari kerasnya persaingan. Tren ini mencerminkan sisi gelap dari kehidupan Gen Z yang hidup di tengah dunia yang makin cepat, kompetitif, dan penuh ekspektasi. Kalau kamu penasaran kenapa istilah “manusia tikus” bisa viral dan relate banget buat anak muda zaman sekarang, yuk bahas lebih dalam!
Apa Itu Fenomena Manusia Tikus di China?
Fenomena manusia tikus di China mengacu pada gaya hidup yang makin banyak dijalani Gen Z, terutama di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai. Mereka memilih hidup nocturnal (aktif di malam hari), menyendiri di kamar, dan menjauh dari dunia luar. Banyak dari mereka yang menghabiskan waktu hanya dengan rebahan, scroll media sosial, nonton drama, dan memesan makanan lewat aplikasi.
Baca Juga: Self Care untuk Gen Z: Cara Simpel Rawat Diri di Tengah Kesibukan
Kalau dilihat sekilas, mungkin kelihatan kayak orang yang malas. Tapi sebenarnya, gaya hidup ini muncul sebagai bentuk perlawanan diam-diam terhadap tekanan sosial dan ekonomi. Mereka bukan nggak mau berusaha, tapi udah terlalu lelah buat terus bersaing dalam sistem yang dirasa nggak adil. Fenomena ini juga disebut sebagai versi lanjut dari tren sebelumnya: tang ping atau “berbaring”.
Di bawah ini, kamu bakal menemukan alasan kenapa fenomena ini muncul, kenapa bisa relate banget buat banyak orang muda, dan apa makna sebenarnya di balik gaya hidup ‘tikus’ ini.
1. Asal-Usul Istilah dan Makna di Baliknya
Istilah lao shu ren (老鼠人) atau manusia tikus, berasal dari kebiasaan yang dimiliki oleh generasi muda: hidup seperti tikus — bersembunyi, aktif saat malam, dan nyaman di ruangan gelap. Banyak Gen Z di China yang menyamakan diri mereka dengan tikus karena rutinitas yang mirip. Bangun siang, makan seadanya, scroll medsos, dan nyaris nggak keluar rumah.
Rutinitas ini bukan hanya karena malas atau iseng. Tapi sebagai reaksi terhadap realita: biaya hidup yang mahal, tingkat pengangguran yang tinggi, serta tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk jadi “sukses”. Saking beratnya tekanan, banyak yang akhirnya memilih “mundur” dan hidup dengan cara mereka sendiri.
Istilah manusia tikus ini kemudian menjadi identitas baru — bukan sekadar gaya hidup, tapi juga bentuk solidaritas. Banyak yang membagikan pengalaman mereka lewat video di Xiaohongshu, sejenis TikTok dan Instagram versi China. Postingan itu bisa lucu, tapi juga menyentuh, karena penuh kejujuran tentang kondisi mental dan sosial.
2. Kenapa Banyak Gen Z Memilih Jadi ‘Tikus’?
Mungkin kamu bertanya-tanya, kenapa banyak anak muda yang rela “mengasingkan” diri seperti ini? Jawabannya cukup kompleks. Ada beberapa faktor yang bikin fenomena manusia tikus di China makin meluas.
Pertama, kondisi ekonomi. Saat ini, angka pengangguran di kalangan lulusan muda di China terus meningkat. Bayangin, ada lebih dari 12 juta lulusan baru yang masuk ke pasar kerja setiap tahun. Tapi, lowongan yang tersedia nggak sebanding. Akhirnya, banyak yang merasa percuma sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya tetap sulit cari kerja.
Kedua, tekanan akademik yang nggak main-main. Di China, ada ujian masuk perguruan tinggi bernama gaokao, salah satu yang paling ketat di dunia. Lulus ujian itu belum tentu menjamin hidup enak. Karena itulah banyak yang merasa udah “habis tenaga” sejak SMA.
Ketiga, ada pergeseran cara pandang soal hidup. Kalau dulu, generasi sebelumnya percaya kerja keras pasti berhasil, Gen Z sekarang cenderung realistis dan mempertanyakan: “Buat apa capek-capek kalau hasilnya tetap nggak jelas?” Dari sinilah muncul pilihan hidup ala manusia tikus — diam, tapi tetap bertahan.
Antara Humor dan Keputusasaan: Ekspresi Diri Lewat “Self-Mockery”
Fenomena manusia tikus di China bukan cuma tentang gaya hidup pasif. Ada satu aspek yang menarik: penggunaan humor untuk bertahan. Banyak yang mengekspresikan kehidupan “tikus” mereka dengan cara lucu, lewat meme, vlog harian, atau tulisan satire di media sosial. Ini dikenal sebagai zi hei atau self-mockery — merendahkan diri sendiri, tapi dengan cara yang menyentuh dan jujur.
Self-mockery ini bukan tanda menyerah, tapi cara bertahan di tengah tekanan. Dengan bercanda soal rutinitas suram mereka, para manusia tikus bisa membentuk rasa kebersamaan dan saling menguatkan. Misalnya, ketika ada yang posting video bangun jam 3 sore, langsung dapat ribuan komentar yang bilang: “Sama, aku juga baru bangun.” Lucu, tapi sekaligus menyedihkan.
Menariknya, humor ini justru bikin fenomena manusia tikus makin relatable. Bahkan, banyak mahasiswa China di luar negeri ikut meramaikan tren ini. Mereka posting video kehidupan mereka yang sama: kuliah online sambil rebahan, makan mie instan, dan nggak pernah buka tirai jendela.
1. Evolusi dari Tang Ping: Melawan Sistem yang Dianggap Gagal
Sebelum manusia tikus viral, sempat muncul tren “tang ping” atau “berbaring”. Intinya, orang-orang muda memilih untuk nggak ikut perlombaan hidup. Mereka berhenti mengejar karier besar, beli rumah, atau nikah muda. Tang ping jadi simbol penolakan terhadap standar hidup yang terlalu tinggi.
Fenomena manusia tikus di China bisa dibilang versi yang lebih ekstrem. Kalau tang ping masih punya kesadaran sosial, manusia tikus lebih fokus pada diri sendiri. Mereka bukan cuma menolak sistem, tapi benar-benar menarik diri dari dunia luar.
Ini bukan semata-mata karena malas, tapi karena mereka merasa sistemnya sendiri sudah rusak. Pendidikan mahal, kerja keras nggak selalu membuahkan hasil, dan hidup terasa makin nggak masuk akal. Dalam kondisi ini, menjadi manusia tikus adalah bentuk protes diam — mungkin nggak teriak di jalan, tapi cukup menyindir lewat video dan meme.
2. Identitas Baru Gen Z: Rehat Bukan Malas, Bertahan Bukan Menyerah
Penting untuk dipahami bahwa manusia tikus bukan berarti menyerah. Mereka tetap melakukan hal-hal penting — belajar, bekerja, menyelesaikan tugas — tapi dengan cara dan ritme sendiri. Mereka menolak tekanan bahwa hidup harus selalu produktif 24/7.
Fenomena manusia tikus di China ini menunjukkan bahwa Gen Z mencari cara baru untuk hidup. Mereka lebih fokus pada kesehatan mental, kenyamanan, dan kebebasan memilih. Mereka tahu bahwa jadi sukses itu penting, tapi nggak harus dengan mengorbankan diri sendiri.
Di saat dunia makin kompetitif, menjadi manusia tikus mungkin terasa seperti “mundur”. Tapi buat banyak orang, ini justru cara bertahan. Bukan dengan melawan keras, tapi dengan bertahan diam-diam dan menyembuhkan diri dari dalam.
Fenomena manusia tikus di China adalah cermin dari perasaan lelah, kecewa, dan frustrasi yang dirasakan banyak anak muda. Tapi di balik itu, ada juga kreativitas, solidaritas, dan semangat bertahan. Gen Z tidak sedang malas, mereka sedang mencari jalan baru yang lebih manusiawi dalam menghadapi dunia yang keras.
Mungkin kamu nggak harus jadi manusia tikus untuk paham perasaan itu. Tapi penting untuk menghargai pilihan hidup yang berbeda. Karena pada akhirnya, semua orang cuma pengin hidup dengan tenang, tanpa harus terus berlomba sepanjang waktu.
Untuk berita bisnis dan ulasan teknologi terbaru, ikuti terus creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.









Leave a Comment