creativestation.id – Ketika Amerika Serikat dan Tiongkok berlomba memimpin kecerdasan buatan (AI), serta Uni Emirat Arab dan Arab Saudi menggelontorkan miliaran dolar untuk membangun pusat AI, Rusia justru tampak absen dari peta persaingan global.
Negara yang pernah membanggakan tradisi panjang keinsinyuran ini kini kesulitan mempertahankan posisinya akibat tekanan politik dari Kremlin.
Dilansir dari Financial Times , Selasa (30/9/2025), berbagai negara lain mulai dari Korea Selatan hingga Kazakhstan telah meluncurkan strategi AI nasional. Rusia sejatinya memiliki ekosistem teknologi sejak era internet, dengan perusahaan seperti Yandex dan VKontakte, serta aplikasi pesan Telegram yang didirikan Pavel Durov.
Bahkan Presiden Vladimir Putin pernah menegaskan pada 2017 bahwa, “Siapa yang memimpin dalam AI akan menguasai dunia.” Meski begitu, tiga tahun setelah ledakan AI global, kehadiran Rusia justru nyaris tak terlihat.
Walau demikian, bukan berarti teknologi ini tak memiliki arti bagi Moskwa. Perang drone di Ukraina justru menunjukkan bahwa sistem otonom semakin berperan dalam menentukan arah pertempuran.
Rusia bahkan diketahui menyelundupkan ribuan chip, termasuk prosesor GPU kelas atas, untuk memperkuat armada drone berbasis AI. Namun, pada kenyataannya, posisi Rusia dalam lanskap global tetap sebatas pemain pinggiran.
Ironisnya, di Finlandia justru berdiri pusat data raksasa yang awalnya dimiliki Yandex. Kini fasilitas itu dikelola Nebius, perusahaan yang berhasil menandatangani kontrak senilai 17,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 289 triliun (kurs Rp 16.640 per dolar AS) dengan Microsoft untuk mengoperasikan pusat data di Amerika Serikat. Nebius, yang lahir dari pengasingan akibat perang Rusia-Ukraina, kini melesat menjadi pesaing utama perusahaan komputasi awan global.
Kondisi ini berakar dari represi Kremlin terhadap sektor teknologi jauh sebelum invasi Ukraina. Yandex dipaksa menyaring informasi politik sensitif, meski perusahaan tersebut pernah menjadi simbol keberhasilan teknologi Rusia di luar industri minyak dan gas. Namun, invasi 2022 menghancurkan keseimbangan itu. Banyak eksekutif dan karyawan meninggalkan Rusia, sebagian karena menolak propaganda Kremlin, sebagian untuk menghindari wajib militer.
Sikap penolakan paling tegas datang dari Arkady Volozh, salah satu pendiri Yandex. Pada 2023, dia secara terbuka mengecam kebijakan Moskwa.
“Invasinya barbar, dan saya secara tegas menentangnya,” ujar Volozh, seperti dikutip Reuters . Pernyataan ini kemudian membuka jalan bagi Uni Eropa untuk mencabut sanksi terhadapnya pada tahun berikutnya.
Tidak lama kemudian, pada awal 2024, Yandex resmi melepas seluruh asetnya di Rusia dengan harga diskon besar kepada investor yang dekat dengan Kremlin. Sementara itu, aset non-Rusia direstrukturisasi dan berdiri dengan nama baru, Nebius. Transformasi ini menandai berakhirnya era Yandex sebagai raksasa teknologi Rusia, sekaligus lahirnya pesaing baru dalam industri komputasi awan global.
Sementara itu, Yandex di Rusia harus beroperasi dalam iklim ekonomi yang kian termiliterisasi dan kehilangan banyak talenta terbaiknya. Perusahaan teknologi domestik lebih sibuk mempertahankan pasar dalam negeri daripada membangun jaringan global. Berkurangnya kehadiran perusahaan asing memang mengurangi persaingan lokal, tetapi sekaligus memadamkan ambisi Rusia untuk berperan di tingkat internasional.
Baca juga : EA Diakuisisi USD 55 Miliar, Saham Melonjak 4,5%
Harapan bahwa Rusia bisa kembali melahirkan perusahaan teknologi besar pun pupus. Tradisi panjang ekspor talenta, dari Igor Sikorsky hingga Sergey Brin, memang berlanjut, tetapi ironisnya justru pada saat negara sangat membutuhkan mereka untuk bersaing dalam revolusi AI. Dengan AI dipandang sebagai salah satu lompatan teknologi terbesar abad ini, keputusan Putin membungkam ekosistem teknologi domestik membuat Rusia semakin tertinggal.
Untuk informasi dan perkembangan informasi menarik lainnya, ikuti terus Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi
Leave a Comment