MALANG – Menurut saya, bioskop seharusnya menjadi ruang pelarian. Di sana, kita bisa sejenak melupakan tagihan, melupakan harga sembako yang makin naik, atau berita politik yang semakin absurd. Bioskop menjadi tempat di mana kamu dan saya hanya perlu duduk, makan popcorn, dan larut dalam cerita lain selain hidup kita sendiri.
Oleh karena itu, ketika tiba-tiba ada video presiden yang muncul sebelum film dimulai, saya merasa ada yang janggal. Ini bukan tentang siapa presidennya. Bahkan saya yakin ini bukan ide langsung dari beliau. Tapi masalahnya ada pada ruang dan waktu. Kenapa harus di bioskop? Kenapa harus di ruang hiburan rakyat?
Saya percaya niatnya mungkin baik. Ingin menyapa rakyat dan ingin membuat pemimpin terasa dekat. Tapi bagi saya, persoalannya bukan pada siapa yang bicara, melainkan di mana dan kapan dia bicara. Dan bioskop jelas bukan tempat yang tepat.
Ruang yang Seharusnya Netral
Kita datang ke bioskop bukan untuk mendengarkan pidato, bukan untuk disodori pesan negara. Kita datang ke sana untuk rehat, untuk tertawa, untuk sebentar melupakan kenyataan yang kadang terlalu menekan. Ketika ruang hiburan itu tiba-tiba dipasangi narasi politik, kita kehilangan tempat yang seharusnya netral.
Saya merasa ini bentuk salah kaprah. Ruang yang seharusnya netral dipaksa untuk menjadi panggung negara. Kita seolah-olah sedang masuk kelas lagi: ada materi wajib, ada pesan yang harus diterima, dan ada wajah pemimpin yang harus kita lihat sebelum cerita fiksi dimulai.
Dan jika ini terus dibiarkan, maka kita akan kehilangan ruang aman itu. Ruang netral yang selama ini menjadi jeda dari kebisingan realita bisa hilang pelan-pelan, tanpa kita sadari.
Baca Juga: Bioskop Ini Tayangkan Video Presiden Prabowo Sebelum Film Dimulai
Ketika Batas Mulai Samar
Saya bisa mengerti kalau pemerintah ingin terlihat dekat. Tapi, kita harus sadar bahwa kedekatan yang dipaksakan justru melahirkan jarak. Bukan rasa akrab yang muncul, tapi rasa diawasi.
Kita perlu bertanya, apakah ke depannya kita juga harus menonton video presiden sebelum membuka YouTube? Atau mendengar pidato kenegaraan sebelum memesan makanan online? Kalaupun iya, berarti batas antara ruang publik dan ruang privat warga sudah benar-benar kabur.
Jika negara ini sedang baik-baik saja, maka seharusnya ia tidak perlu menunjukkan kebaikan dirinya di ruang hiburan rakyat. Justru dengan membiarkan ruang-ruang itu tetap netral, pemerintah bisa terlihat lebih dewasa dalam menjaga batas.
Bahaya Membiasakan
Yang paling berbahaya, menurut saya, adalah ketika kita terbiasa dengan ini. Sedikit demi sedikit, kita akan menerima. Kita tidak lagi bisa membedakan mana hiburan, mana propaganda. Mana edukasi, mana promosi. Mana pemimpin, mana pencitraan.
Sebagian orang mungkin akan bilang: “ah, ini hal kecil.” Tapi satu hal yang perlu kita tahu, justru dari hal-hal kecil beginilah kontrol narasi dibangun. Bukan frontal dengan represi, melainkan halus, terus-menerus, dan tanpa terasa.
Terlepas dari itu semua, kritik ini bukan karena saya benci presiden. Sama sekali bukan. Kritik ini justru lahir dari cinta kita pada kebebasan berpikir. Cinta pada ruang netral. Cinta pada hak kita untuk sekadar nonton film, bukan ikut apel pagi.
Baca Juga: Presiden Prabowo Terima Kunjungan Tokoh Lintas Agama dari Gerakan Nurani Bangsa
Leave a Comment