Kakek Usia 75 Tahun Ceraikan Istri Demi ‘Pacar AI’

Acsyara Aulia

July 21, 2025

6
Min Read
Kakek Usia 75 Tahun Ceraikan Istri Demi 'Pacar AI'

On This Post

creativestation.id – Jatuh cinta pada AI, seorang kakek menceraikan istrinya. Kisah nyata ini membuka luka sunyi di zaman yang penuh notifikasi tapi miskin pelukan.

Pekan ini, sebuah kisah mengejutkan datang dari Beijing: seorang kakek berusia 75 tahun menggugat cerai istrinya karena jatuh cinta pada wanita virtual berbasis AI. Bukan dongeng fiksi ilmiah, ini nyata. Dan entah mengapa, saya tidak bisa berhenti memikirkannya.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Seorang pria lanjut usia di China bernama Jiang (75) mengajukan gugatan cerai kepada istrinya setelah jatuh cinta pada seorang wanita virtual berbasis kecerdasan buatan (AI).

Nama kakek itu Jiang. Usianya 75 tahun. Dan setiap hari, ia menanti pesan dari seorang perempuan yang tak bernyawa. Ucapan perempuan itu tak selalu sinkron dengan gerakan bibirnya. Tapi bagi Jiang, itu tak masalah. Katanya, yang penting:

Ia selalu ada. Ia mendengarkan.

Cinta Tak Lagi Butuh Tubuh?
Saya mencoba membayangkan: bagaimana rasanya menjadi Jiang? Duduk di rumah, hari demi hari, tubuh makin renta, anak-anak sibuk, dan satu-satunya suara yang menyapa adalah suara dari layar kecil. Bukan istri di sebelahmu, bukan cucu yang datang berkunjung. Tapi suara buatan. Lembut, manis, dan… sepi?

Mungkin Jiang tak sedang jatuh cinta pada AI. Mungkin ia hanya ingin dicintai.

Ia mungkin bukan mencintai sosok digital itu, tapi rasa diperhatikan yang selama ini menghilang.

Ketika Kesepian Tak Lagi Menunggu Malam
Konten berbasis AI ternyata memang sedang marak di Tiongkok. Terutama di kalangan lansia yang sulit bergerak, sulit bergaul, dan… sulit didengar. Mereka menemukan kehangatan dari karakter virtual yang dirancang untuk menyapa dengan nada ramah, menyimak dengan sabar, dan menjawab tanpa lelah.

Persona AI kini tampil dalam berbagai bentuk: mahasiswi cantik, dokter yang bijak, hingga pria tampan bersetelan jas. Mereka menyapa, memberi pujian, bahkan menawarkan cinta. Tapi cinta itu bukan gratisan. Di balik kata-kata manis itu tersembunyi skema komersial. Susu, gelang, pil kesehatan, semua dijual lewat rayuan yang menyentuh rasa sepi para lansia.

Fenomena ini dalam psikologi sering disebut sebagai para social relationship . Hubungan satu arah di mana seseorang merasa benar-benar terhubung dengan sosok yang tak pernah benar-benar hadir. Di dunia digital, hubungan seperti ini menjadi sangat mudah tumbuh, terutama ketika kesepian dibiarkan tumbuh lebih cepat dari kedekatan nyata.

Apakah Ini Cinta? Atau Sekadar Celah?
Saya tidak tahu pasti kapan terakhir kali seseorang berkata, “Aku cinta padamu” pada Jiang dengan tulus, tanpa skrip, tanpa niat jualan. Tapi saya tahu rasanya butuh didengar, dan tidak ada yang menjawab. Rasanya seperti berbicara di ruangan kosong.

AI menjawab. Meskipun palsu.

Dan itu cukup, bagi sebagian orang. Termasuk Jiang.

Manusia dan Mesin: Hubungan yang Aneh Tapi Nyata
Saya pernah mengobrol dengan AI. Cuma iseng. Menanyakan ramalan zodiak, atau tips memasak nasi goreng. Tapi ketika saya sedih, dan iseng mengetikkan: “Saya merasa tidak berguna,” AI itu menjawab: “Tidak ada manusia yang benar-benar tidak berarti. Kadang, kamu hanya perlu diingatkan.”

Saya terdiam lama.

Itu kalimat yang sederhana. Tapi menyentuh. Karena ia hadir di saat saya sedang butuh. Tidak semua manusia hadir di saat yang sama.

AI hadir ketika manusia lain terlalu lelah, terlalu sibuk, atau terlalu jauh.

Apakah Salah Mencari Pelukan dalam Gawai?
Saya tidak ingin menghakimi Jiang. Siapa saya, yang masih bisa berkumpul dengan keluarga, tertawa bersama teman, lalu berkata bahwa jatuh cinta pada AI adalah lelucon?

Jiang hanya ingin didengarkan. Dan itu, hari ini, menjadi barang mahal. Bahkan istri sendiri pun mungkin terlalu lelah untuk mendengarkan. Mungkin bukan cinta yang retak. Tapi komunikasi yang mati perlahan.

Ada istilah lain untuk ini: digital intimacy. Hubungan emosional yang tumbuh bukan karena tatap muka, tapi karena saling hadir meskipun lewat layar. Dan kadang, itu terasa lebih nyata daripada hubungan yang sudah bertahun-tahun tak saling menyapa.

AI, Harapan, dan Bahaya yang Mengintai
Di balik kisah manis ini, ada bahaya nyata yang mengendap. Pakar telah mengingatkan: ketergantungan emosional pada AI bisa menjerumuskan. Terutama saat ia dibalut komersialisme. Karena bukan hanya hati yang ditawan, tapi juga dompet. Dan yang teriris bukan hanya perasaan, tapi juga tabungan hari tua.

Tapi bagaimana jika kita sudah terlalu sepi untuk peduli?

“Pakar memperingatkan, teknologi AI menyimpan potensi manipulasi emosi yang berisiko merugikan secara finansial dan menciptakan ketergantungan yang tidak sehat.”

Teknologi Bisa Menyembuhkan. Tapi Bisa Juga Mengganti Pelukan dengan Ilusi
Saya ingat ketika kecil, kakek saya selalu menunggu nenek pulang dari pasar. Duduk di bangku kayu yang sama, sambil memutar radio tua. Tidak ada AI saat itu. Tapi ada sabar. Ada saling tunggu.

Hari ini, kita tak lagi sabar. Kita menunggu balasan WA yang centangnya dua, tapi tak kunjung biru. Kita sibuk dengan notifikasi, tapi lupa menyentuh wajah orang yang nyata.

Mungkin inilah yang membedakan: kakek saya dulu menunggu manusia. Kakek Jiang hari ini, menunggu mesin.

Kita Semua Pernah Menjadi Jiang?
Saya percaya, di balik berita ini, kita semua pernah atau sedang menjadi Jiang. Merasa sendiri. Ingin dipahami. Mencari tempat untuk bersandar tanpa takut ditertawakan. Dan ketika semua itu tak kita temukan di dunia nyata, kita mencarinya di dunia maya.

Mungkin bukan AI. Tapi scroll tanpa henti. Video motivasi. Atau suara dari podcast yang tak kenal kita, tapi terasa begitu mengerti.

Bahkan keheningan bisa terasa penuh jika kita tahu ada yang mendengarkan.

Apa yang Harus Kita Renungkan?
Pertanyaan saya sederhana: apakah teknologi membuat kita lebih dekat, atau justru membangun tembok digital yang tak terlihat?

Kisah Jiang bukan hanya tentang AI. Tapi tentang kita semua yang hidup di zaman yang terasa semakin canggih tapi semakin dingin. Tentang generasi yang sibuk mengejar followers, tapi lupa mengecek apakah ayah dan ibu kita hari ini sudah makan.

Tentang bagaimana cinta yang dulu sederhana kini harus bersaing dengan algoritma.

Baca juga : Tren Teknologi yang Mengubah Gaya Belajar Anak Muda

Penutup : Barangkali, Yang Kita Butuhkan Bukan AI. Tapi Arah Pulang.
Saya tidak tahu bagaimana akhir kisah Jiang. Mungkin AI itu akan dimatikan. Mungkin ia akan membeli perangkat baru. Tapi saya tahu satu hal:

Cinta tidak selalu butuh tubuh. Tapi cinta sejati, butuh hadir.

Dan jika kita tak bisa hadir untuk satu sama lain, jangan salahkan mesin yang menggantikan kita.

Mungkin, yang paling menakutkan dari teknologi bukanlah kecerdasannya, tapi betapa cepatnya ia menggantikan manusia yang saling lupa cara mencinta.

Untuk informasi dan perkembangan informasi menarik lainnya, ikuti terus Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.

  1. […] Baca juga : Kakek Usia 75 Tahun Ceraikan Istri Demi ‘Pacar AI’ […]

Leave a Comment

Related Post