creativestation.id – Fear of Missing Out (FOMO) bukan sekadar “takut ketinggalan tren”—bagi Gen Z, ia sering bertemu dengan notifikasi tanpa henti, feed yang tak berujung, dan standar sosial yang bergerak cepat. Kombinasi ini dapat memicu stres, kecemasan, gangguan tidur, hingga keputusan konsumtif impulsif. Bukti terbaru menunjukkan remaja dan dewasa muda semakin sadar dampak negatif sosial media pada kesehatan mental, meskipun penggunaan hariannya tetap tinggi.
Apa Itu FOMO dan Mengapa Gen Z Rentan?
Secara psikologis, FOMO muncul saat individu merasa orang lain menikmati pengalaman yang lebih “bernilai”, sehingga memicu dorongan untuk terus terhubung dan memeriksa media sosial. Literatur menautkan FOMO dengan adiksi smartphone/sosmed serta kepuasan hidup yang menurun pada populasi muda. Studi 2025 yang mengukur FOMO dan kecanduan jejaring sosial menemukan korelasi antara intensitas penggunaan, FOMO, dan penurunan kepuasan hidup.
Seberapa Besar Masalahnya?
-
Hampir setengah remaja online “hampir terus-menerus”. Survei Pew (Sep–Okt 2024) mendapati hampir 1 dari 2 remaja AS selalu online; YouTube paling populer. Ini memperkuat paparan konten pemicu FOMO sepanjang hari.
-
Persepsi dampak negatif meningkat tajam. Pada 2025, 48% remaja menilai media sosial berdampak lebih banyak negatif pada teman sebaya—naik 16 poin dari 2022. 45% mengaku menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial.
-
Stres Gen Z tetap tinggi. Survei global Deloitte menemukan sekitar 40% Gen Z merasa stres “sebagian besar waktu”—menandakan latar psikososial yang mudah tersulut FOMO.
-
Konteks Indonesia. Survei kesehatan mental remaja Indonesia mencatat 5,1% remaja mengalami depresi dan 9,8% gangguan emosional/mental; akses layanan masih terbatas—membuat intervensi pencegahan (termasuk literasi FOMO) krusial.
-
Kerentanan gender global. Laporan Ipsos (2024) menunjukkan perempuan Gen Z paling sering melaporkan “low points” hingga episode depresif berulang (40% secara global).
Dampak FOMO terhadap Kesehatan Mental & Perilaku
FOMO berkelindan dengan:
-
Kecemasan & mood negatif: Paparan pembanding sosial (highlight reel) menaikkan kecemasan dan rasa tidak cukup baik. Temuan Pew 2025 menunjukkan remaja—terutama perempuan—kian mengakui dampak negatif pada kepercayaan diri dan tidur.
-
Gangguan tidur & fokus: Pola “scroll sebelum tidur” memperparah kesulitan tidur dan atensi keesokan hari, memperkuat lingkaran FOMO (tak mau “ketinggalan” saat offline).
-
Perilaku konsumtif impulsif: Kajian Indonesia 2025/2024 menyorot FOMO mendorong pembelian produk “viral”, didorong tekanan sosial/validasi.
Mengapa Algoritma Membuat FOMO Sulit Diredam?
Algoritma memprioritaskan konten yang memicu emosi (rasa takut tertinggal, iri, urgensi “sekarang atau tidak sama sekali”). Siklusnya: trigger → cek ponsel → reward/relief singkat → craving ulang. Ketika remaja mengakui pengaruh negatif namun tetap memakai platform intensif, itu menandakan habit loop yang kuat yang memerlukan strategi teknis dan psikologis sekaligus.
9 Strategi Anti-FOMO yang Ramah Gen Z
-
Batching notifikasi (2–3 kali/hari). Matikan push untuk “likes/mentions”; cek terjadwal mengurangi variable rewards algoritmik. (Didukung pedoman klinis soal paparan konten berbahaya & kebiasaan digital sehat).
-
Ubah home screen. Pindahkan aplikasi pemicu ke folder halaman kedua/ketiga; taruh widget to-do & kalender di depan agar tujuan nyata menang melawan impuls.
-
Mode tidur perangkat + jam analog. Hindari doomscroll malam; gunakan jam fisik agar ponsel di luar kamar.
-
Kurasi feed aktif. Unfollow akun pemicu perbandingan sosial; follow kanal edukasi/kreatif/komunitas positif.
-
Tantangan 30–30. 30 menit gerak/aktivitas hobi + 30 menit “deep work” per hari—gantikan waktu scroll yang paling rentan (pagi & malam).
-
Aturan 24 jam untuk belanja impulsif. Tambahkan ke keranjang, tunggu 24 jam; check-out hanya jika masih relevan—teruji efektif menahan pembelian akibat FOMO.
-
Jurnal emosi “Sebelum-Setelah Scroll”. Catat perasaan 2 menit sebelum/2 menit sesudah; jika konsisten memburuk, setel batas harian aplikasi.
-
Bangun offline anchors. Jadwalkan aktivitas sosial tatap muka mingguan (olahraga, komunitas, volunteering) untuk kebutuhan koneksi yang lebih sehat.
-
Cari bantuan profesional saat perlu. Tanda bahaya: gangguan fungsi harian, pikiran menyakiti diri, atau mood turun >2 minggu. Di Indonesia, akses masih menantang—mulailah dari layanan kampus, puskesmas rujukan jiwa, atau platform telekonseling.
Perspektif Orang Tua, Pendidik, dan Pemberi Kerja
-
Orang tua & guru: Banyak orang tua menganggap media sosial faktor paling merusak bagi kesehatan mental remaja; kebijakan sekolah seperti phone-free jam belajar menunjukkan perbaikan fokus dan interaksi. Pertimbangkan kontrak digital keluarga & jam device-free.
-
Pemberi kerja & kampus: Stres Gen Z tetap tinggi; budaya kerja yang mendukung kesejahteraan (fleksibilitas, pelatihan keterampilan AI, akses konseling) berkorelasi dengan kesejahteraan mental yang lebih baik dan rasa makna.
Baca juga : Bagaimana Gen Z Melawan Stigma Lewat Media Digital
“Fenomena FOMO & Kesehatan Mental Gen Z” adalah isu lintas level: individu, keluarga, sekolah, sampai tempat kerja. Data terbaru memperlihatkan kesadaran yang meningkat—namun tanpa strategi konkret, kebiasaan digital dan algoritma tetap mengalahkan niat baik. Kabar baiknya, intervensi sederhana (pengaturan notifikasi, digital hygiene, “offline anchors”) jika dilakukan konsisten, berdampak besar. Pada akhirnya, tujuan kita bukan “anti-teknologi”, melainkan pro-kesehatan mental—menggunakan teknologi secara sengaja agar hidup terasa lebih utuh, bukan lebih kosong.
Untuk informasi dan perkembangan informasi menarik lainnya, ikuti terus Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi
Leave a Comment