Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “cancel culture” menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Cancel culture merujuk pada praktik memboikot publik figur, brand, atau individu tertentu karena ucapan, tindakan, atau pandangan mereka yang dianggap tidak pantas atau menyinggung. Budaya ini muncul seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial, seperti keadilan rasial, gender, dan etika publik.
Namun, praktik ini juga menuai kontroversi. Di satu sisi, cancel culture dianggap sebagai bentuk kontrol sosial dan alat perlawanan masyarakat terhadap ketidakadilan. Di sisi lain, budaya ini sering dipandang sebagai bentuk penghakiman massa tanpa proses yang adil. Artikel ini akan mengupas secara menyeluruh tentang budaya cancel culture dan konsekuensinya.
Asal Usul dan Perkembangan Cancel Culture
Istilah cancel culture mulai dikenal luas pada akhir 2010-an, meski praktik serupa sudah ada sebelumnya dalam bentuk boikot sosial. Perkembangan media sosial mempercepat penyebaran cancel culture. Contoh paling nyata adalah kasus selebritas seperti Kevin Spacey dan J.K. Rowling yang menjadi sasaran pembatalan karena pernyataan atau perbuatan yang dianggap kontroversial.
Menurut data dari Pew Research Center (2022), 58% warga Amerika Serikat menyadari fenomena cancel culture, dan 38% di antaranya menganggapnya sebagai alat yang berguna untuk meminta pertanggungjawaban. Namun, 49% lainnya menilai cancel culture justru terlalu menghukum dan tidak adil.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media digital mengubah mekanisme pertanggungjawaban publik. Dulu, kritik ditujukan melalui proses hukum atau diskusi akademik, kini cukup dengan tagar viral dan kecaman kolektif.
Baca juga : Bukan dari Buku Lagi! Ini Alasan Kenapa Gen Z Lebih Suka Belajar dari YouTube
Dampak Cancel Culture terhadap Karier dan Kehidupan Sosial
Konsekuensi dari cancel culture bisa sangat drastis. Seorang individu yang menjadi target bisa kehilangan pekerjaan, dukungan sosial, bahkan reputasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Dalam kasus ekstrem, korban cancel culture mengalami tekanan psikologis hingga depresi.
Contohnya, Gina Carano, aktris dalam serial “The Mandalorian”, dipecat oleh Disney setelah membuat pernyataan kontroversial di media sosial. Selain itu, brand-brand besar seperti H&M, Pepsi, dan Dolce & Gabbana juga pernah mengalami pembatalan massal akibat iklan atau kampanye yang dianggap tidak sensitif.
Cancel culture tak hanya berdampak pada individu, tapi juga pada organisasi. Studi dari PRWeek (2023) menunjukkan bahwa perusahaan yang menjadi target cancel culture mengalami penurunan reputasi sebesar 35% dalam dua minggu setelah kontroversi mencuat.
Cancel Culture vs Freedom of Speech
Salah satu kritik terbesar terhadap cancel culture adalah benturannya dengan kebebasan berpendapat. Banyak orang merasa takut untuk menyuarakan opini mereka, karena khawatir akan dibatalkan oleh publik. Akibatnya, ruang diskusi menjadi sempit, dan masyarakat kehilangan kesempatan untuk berdialog secara sehat.
Namun, di sisi lain, para pendukung cancel culture berpendapat bahwa kebebasan berbicara tidak berarti bebas dari konsekuensi. Ketika seseorang menyampaikan opini yang diskriminatif atau menyinggung kelompok tertentu, masyarakat memiliki hak untuk merespons dengan kritik dan boikot.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah cancel culture mendorong akuntabilitas, atau justru menciptakan iklim ketakutan dan sensor? Ini adalah dilema etika yang belum memiliki jawaban pasti.
Cancel Culture di Indonesia
Cancel culture juga menjangkiti ruang publik di Indonesia. Misalnya, kasus Jerinx SID yang sering menjadi sorotan karena pernyataan kontroversialnya. Atau publik figur seperti Deddy Corbuzier yang sempat mendapat kritik keras karena mengundang narasumber yang dianggap problematik.
Di media sosial, warga net Indonesia cenderung reaktif dan cepat dalam membentuk opini publik. Dengan dominasi platform seperti Twitter dan TikTok, satu isu bisa viral dalam hitungan menit. Sayangnya, kecepatan ini tidak selalu diiringi dengan verifikasi fakta yang memadai.
Data dari Lembaga Survei Indonesia (2023) menunjukkan bahwa 62% responden pernah mengikuti ajakan untuk memboikot figur publik, dan 29% di antaranya kemudian menyesal karena informasi yang diterima ternyata keliru atau hoaks.
Baca juga : Dunia Ganda Gen Z: Ketika Identitas Digital Lebih Nyata dari Kehidupan Nyata
Bagaimana Menyikapi Cancel Culture Secara Bijak
Cancel culture adalah cerminan dari kekuatan masyarakat digital dalam menuntut tanggung jawab sosial. Namun, penggunaannya harus dibarengi dengan etika dan pertimbangan rasional. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain:
- Verifikasi fakta sebelum ikut menyebarkan tuduhan
- Memberi ruang klarifikasi kepada pihak yang dituduh
- Membedakan kritik konstruktif dan serangan pribadi
- Mendukung proses hukum atau mediasi sebagai solusi jangka panjang
Sebagai masyarakat digital, kita perlu mendorong budaya yang adil dan edukatif, bukan sekadar menghukum. Cancel culture seharusnya menjadi pintu diskusi, bukan palu vonis sepihak.
Leave a Comment