creativestation.id – Cerita tentang pertarungan antara Sura (ikan hiu) dan Baya/Buaya adalah salah satu legenda paling dikenal di Indonesia — khususnya sebagai asal-usul nama kota Surabaya. Kisah ini bukan sekadar dongeng: ia membentuk simbol kota, muncul di monumen, dan terus menjadi bahan budaya populer. Dalam posting ini kita akan mengupas mengapa sura dan buaya selalu bertengkar, dari sudut legenda, sejarah lokal, makna simbolis, hingga alasan-alasan logis yang membuat konflik itu relevan sampai sekarang.
1. Asal-usul legenda: perebutan wilayah dan makanan
Menurut versi rakyat, pertengkaran Sura (hiu) dan Baya (buaya) bermula dari perebutan wilayah dan sumber makanan — dua predator besar yang saling tumpang tindih ekosistemnya. Ketika batas antara laut dan muara sungai kabur, konflik menjadi tak terelakkan. Versi-versi legenda ini tersebar luas dan menjadi cerita penjelasan etnologis lokal atas nama “Surabaya”.
2. Simbolisme: keberanian vs bahaya — mengapa pertarungan itu “abadi”
Secara linguistik dan simbolik, kata “sura” sering dihubungkan dengan keberanian dan “baya/boyo” dengan bahaya. Pertarungan keduanya melambangkan perjuangan antara keberanian dan ancaman—sebuah narasi yang mudah diinternalisasi masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah yang membuat cerita “selalu bertengkar” terasa relevan sebagai metafora sosial.
3. Warisan visual: patung Sura dan Baya memperkuat konflik dalam ruang publik
Monumen Sura-Baya menjadi ikon Surabaya dan secara visual merekam “pertengkaran” tersebut — hingga ada beberapa patung/versi yang tersebar di kota. Pemerintah dan komunitas lokal menjadikan pertempuran ini sebagai identitas kota (landmark wisata, foto, merchandise), sehingga cerita terus diulang dan “bertengkar” dalam imajinasi publik. Patung-patung ini resmi dibangun dan dipajang sejak akhir abad ke-20 sebagai simbol kota.
4. Alasan ekologis & biologis (analogi dunia nyata)
Jika kita baca secara ekologis: hiu dan buaya adalah predator puncak di habitat masing-masing (laut vs muara/sungai). Saat habitat saling bersinggungan—misal perubahan garis pantai, pasang surut, atau aktivitas manusia—kompetisi atas makanan bisa meningkat. Legenda bisa jadi refleksi observasi masyarakat lama terhadap persaingan antar-predator di daerah pesisir. (Penjelasan ini bersifat analogis, bukan catatan ilmiah langsung pada Sura/Baya legenda.)
5. Politik lokal dan mitos yang dipakai untuk membangun identitas kota
Legenda sering dipakai oleh pemimpin lokal dan budaya populer untuk membangun identitas kolektif. Nama “Surabaya” sendiri diasosiasikan dengan Sura dan Baya, lalu kisah ini dipoles menjadi simbol keberanian dan perlawanan—terutama setelah peristiwa-peristiwa sejarah penting di kota. Pemanfaatan mitos ini membuat “pertengkaran” keduanya dipublikasikan lewat pendidikan lokal, monumen, hingga acara budaya.
6. Versi-versi cerita
Dalam banyak versi cerita rakyat, pertempuran Sura dan Baya tidak menghasilkan pemenang mutlak — atau berakhir dengan kesepakatan pembagian wilayah. Hal ini mencerminkan pesan moral: keseimbangan ekosistem, batas wajar, atau bahkan panggilan untuk hidup berdampingan. Karena ada banyak variasi (beberapa versi berakhir tragis, beberapa berakhir damai), masyarakat terus menceritakan ulang dengan penekanan berbeda sehingga konflik tampak “abadi”.
7. Fakta relevan & statistik
-
Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia — kota ini memiliki populasi sekitar 3,02 juta jiwa (data per 2024), sehingga simbol lokal mudah menyebar dan terpelihara lewat pendidikan, pariwisata, dan media lokal.
-
Monumen Sura dan Baya dipajang di beberapa lokasi ikonik di Surabaya (termasuk depan kebun binatang dan taman-taman kota), memperkuat eksposur publik terhadap legenda ini.
Baca juga : 7 Desain Rumah 2 Kamar di Kampung
Bagaimana legenda ini relevan untuk pembaca masa kini?
Legenda Sura dan Baya bukan hanya cerita lama — ia berfungsi sebagai magnet budaya dan wisata. Pengunjung yang mengambil foto di patung Sura-Baya, suvenir lokal, dan materi promosi kota semuanya membantu melestarikan cerita itu. Selain itu, legenda ini bisa dipakai sebagai bahan edukasi soal konservasi pesisir, batas ekosistem, dan pentingnya hidup berdampingan antarmanusia dan alam.
Jadi, mengapa sura dan buaya selalu bertengkar? Jawabannya bersifat multi-dimensional: kombinasi konflik ekologis (perebutan sumber dan wilayah), simbolisme budaya (keberanian vs bahaya), politik identitas lokal, dan penguatan visual lewat monumen membuat cerita itu selalu diulang. Karena legenda ini dipakai untuk menandai identitas kota dan terus dipertontonkan dalam ruang publik, “pertengkaran” mereka terasa abadi — bukan karena hiu dan buaya nyata sedang berperang tiap hari, melainkan karena masyarakat terus memilih untuk menceritakannya.
Untuk informasi dan perkembangan informasi menarik lainnya, ikuti terus Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.
Leave a Comment