Creativestation.id – Sebuah fenomena baru muncul di dunia kerja dan semakin banyak dialami oleh generasi muda (Gen Z).
Istilahnya adalah job hugging, kondisi ketika seseorang memilih bertahan di pekerjaan yang tidak membuatnya bahagia atau berkembang, hanya karena takut akan risiko yang muncul bila mereka memutuskan untuk resign.
Fenomena ini kini banyak ditemukan pada generasi Z hingga milenial yang menghadapi tantangan ekonomi dan ketidakpastian karier yang kian kompleks.
Ini menjadi cerminan dari kecemasan finansial dan psikologis yang melanda generasi yang baru memasuki dunia profesional.
Job hugging bisa digambarkan sebagai sikap bertahan pada pekerjaan meski tidak puas, frustrasi, atau merasa jenuh. Mereka sadar bahwa kondisi ini tidak ideal, namun kebutuhan ekonomi serta minimnya peluang kerja membuat pilihan resign terasa terlalu berisiko.
Ciri khas fenomena ini antara lain enggan mencari pekerjaan baru, menolak tawaran posisi lain karena takut ketidakpastian, hingga cenderung memilih zona nyaman meskipun pekerjaan tidak mendukung perkembangan diri.
Akibatnya, mereka tetap berada dalam rutinitas yang kurang memuaskan tanpa perubahan signifikan, seolah “memeluk” pekerjaan mereka erat-erat agar tidak terlepas.
Faktor Penyebab Job Hugging
Beberapa faktor memicu munculnya tren ini. Pertama, kondisi ekonomi global yang tidak stabil membuat perusahaan semakin selektif dalam membuka lowongan kerja. Data menunjukkan perekrutan baru berada di titik terendah sejak 2013, di luar masa pandemi.
Hal ini menciptakan pasar kerja yang sangat kompetitif, di mana Gen Z yang baru lulus merasa sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru jika mereka keluar dari pekerjaan yang sekarang.
Kedua, kebutuhan finansial yang mendesak membuat pekerja muda tidak punya pilihan lain selain bertahan.
Gen Z yang baru memasuki dunia kerja masih banyak bergantung pada stabilitas pendapatan, sehingga kehilangan pekerjaan dianggap lebih berbahaya daripada bertahan meski tidak bahagia.
Banyak dari mereka yang memiliki cicilan, utang pendidikan, atau kewajiban finansial lain yang membuat mereka tidak bisa mengambil risiko kehilangan gaji bulanan.
Ketiga, faktor psikologis seperti rasa takut gagal, minimnya percaya diri, serta keengganan menghadapi perubahan juga memperkuat pola job hugging.
Generasi muda lebih memilih mempertahankan kepastian saat ini ketimbang mencoba jalan baru dengan risiko lebih besar.
“Rasa takut gagal itu nyata. Mereka melihat teman-teman yang resign dan butuh waktu lama untuk dapat pekerjaan baru, dan itu membuat mereka berpikir dua kali,” ujar Dr. Ratna Sari, seorang psikolog karier.
Ditambah lagi, tekanan dari media sosial yang sering menampilkan kisah sukses instan membuat mereka merasa tertekan untuk selalu berhasil.
Dampak Negatif pada Pekerja dan Perusahaan
Fenomena ini berdampak serius pada kondisi mental dan produktivitas pekerja. Pekerja yang terjebak job hugging cenderung kehilangan motivasi, merasa bosan, dan lebih mudah mengalami stres.
Mereka merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tidak memberikan kepuasan, sehingga berpotensi mengalami burnout dan depresi.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kualitas kerja serta menghambat pengembangan karier, karena mereka tidak lagi memiliki semangat untuk berinovasi atau mengambil inisiatif.
Selain itu, terbiasa bertahan di zona nyaman membuat pekerja kesulitan mengasah keterampilan baru.
Baca Juga: Anak Muda Bukan Sekadar Turun ke Jalan, Tapi Agen Perubahan Sosial
Minimnya inisiatif untuk belajar atau mengambil tantangan dapat menutup peluang promosi maupun kesempatan kerja yang lebih baik di masa depan.
Bagi perusahaan, fenomena ini juga merugikan. Karyawan yang tidak termotivasi akan menurunkan produktivitas tim secara keseluruhan, dan perusahaan akan kehilangan talenta-talenta potensial yang seharusnya bisa berkembang.
Bagaimana Mengatasi Job Hugging
Meskipun sulit, fenomena job hugging tetap bisa diatasi. Langkah pertama adalah melakukan refleksi diri dengan menilai kembali tujuan karier dan kebutuhan pribadi.
Bila pekerjaan saat ini tidak sejalan dengan aspirasi, perlu keberanian untuk mempertimbangkan alternatif.
Ini bisa dimulai dengan membuat daftar kelebihan dan kekurangan pekerjaan saat ini, serta memvisualisasikan apa yang benar-benar mereka inginkan dalam karier.
Langkah kedua adalah meningkatkan kompetensi. Mengikuti pelatihan, kursus online, atau memperluas jejaring profesional bisa membuka peluang baru tanpa harus langsung resign.
Dengan bekal keterampilan tambahan, rasa percaya diri akan meningkat sehingga lebih siap menghadapi risiko.
“Membangun skill set baru itu seperti menabung. Ketika saatnya tiba, tabungan itu akan sangat berguna,” kata Dr. Ratna.
Langkah ketiga adalah mengatur keuangan dengan bijak. Salah satu alasan utama pekerja bertahan adalah kebutuhan finansial.
Dengan perencanaan keuangan yang lebih sehat, seperti memiliki dana darurat yang cukup untuk enam bulan, risiko kehilangan pekerjaan bisa diminimalisir.
Keputusan untuk pindah kerja tidak lagi menakutkan karena mereka memiliki jaring pengaman finansial.
Pentingnya Dukungan Perusahaan
Selain dari sisi individu, perusahaan juga memegang peran penting. Lingkungan kerja yang sehat, kesempatan berkembang, dan komunikasi terbuka dapat mencegah fenomena job hugging semakin meluas.
Perusahaan harus menciptakan budaya yang mendukung inovasi, memberikan apresiasi atas kerja keras, dan menyediakan jalur karier yang jelas.
Gen Z dan milenial umumnya menghargai apresiasi, fleksibilitas kerja, serta peluang pengembangan diri.
Perusahaan yang mampu memberikan hal tersebut akan memiliki karyawan yang lebih loyal, termotivasi, dan tidak terjebak dalam dilema bertahan semata-mata karena rasa takut.
Dengan menyediakan program upskilling dan reskilling, perusahaan tidak hanya membantu karyawan, tetapi juga memastikan bahwa mereka memiliki talenta yang relevan dengan kebutuhan bisnis di masa depan.
Job hugging bukan sekadar tren, melainkan tanda bahwa dunia kerja sedang menghadapi tantangan besar.
Gen Z, sebagai generasi yang baru memasuki dunia profesional, memilih bertahan meski tidak bahagia karena kondisi ekonomi dan ketakutan mengambil risiko.
Namun, dengan refleksi diri, peningkatan kompetensi, serta dukungan perusahaan, fenomena ini dapat diminimalisir.
Gen Z perlu menyadari bahwa keberanian mengambil langkah baru adalah kunci berkembang, sementara perusahaan harus menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan.
Hanya dengan kolaborasi antara individu dan perusahaan, masa depan karier Gen Z bisa lebih cerah dan tidak lagi terperangkap dalam dilema ini.
Ikuti terus cerita inspiratif, inovasi lokal, dan aksi sosial berdampak hanya di Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.
Baca Juga: Diabetes Bukan Lagi Penyakit Usia Tua, Generasi Z Mulai Terdampak









Leave a Comment