Protes Warga Palo Alto, Mark Zuckerberg Dinilai Ganggu Lingkungan dengan Aksi Beli Properti

raditya satya pranaja

August 23, 2025

5
Min Read
Protes Warga Palo Alto, Mark Zuckerberg Dinilai Ganggu Lingkungan dengan Aksi Beli Properti
Protes Warga Palo Alto, Mark Zuckerberg Dinilai Ganggu Lingkungan dengan Aksi Beli Properti

Pendiri dan CEO Meta, Mark Zuckerberg, kembali menjadi sorotan, bukan karena inovasi teknologi, melainkan karena ambisinya dalam mengoleksi properti mewah. Aksi borong rumah di kawasan elit Crescent Park, Palo Alto, telah memicu keresahan dan protes dari para tetangga. Mereka menganggap Zuckerberg telah “menguasai” lingkungan mereka, menciptakan ketidaknyamanan, dan merusak suasana harmonis di pemukiman tersebut.

Koleksi Properti yang Kian Bertambah

Kisah kepemilikan properti Zuckerberg di Palo Alto dimulai pada tahun 2011, ketika ia membeli rumah pertamanya seharga $7 juta. Sejak itu, secara bertahap ia terus menambah koleksi propertinya di kompleks yang sama, sebuah langkah yang dinilai kontroversial. Berikut adalah rincian pembelian properti yang dilakukan olehnya:

  • 2011: Rumah pertama, senilai $7 juta (sekitar Rp112 miliar).
  • 2012: Rumah kedua, senilai $4,8 juta (sekitar Rp77,3 miliar).
  • 2013: Ia membeli tiga rumah sekaligus dengan nilai total $39 juta (sekitar Rp627 miliar).
  • 2022: Menambah satu rumah lagi seharga $5,7 juta (sekitar Rp92 miliar).
  • 2024: Kembali membeli tiga rumah dengan total nilai $32,55 juta (sekitar Rp524 miliar).
  • 2025: Akuisisi dua rumah lagi senilai $23 juta (sekitar Rp371 miliar), dengan salah satunya hanya berjarak dua rumah dari kediaman utamanya.

Secara total, dalam kurun waktu 14 tahun, Zuckerberg telah mengakuisisi 11 rumah di satu kompleks. Sebagian besar properti tersebut direnovasi menjadi wisma tamu, lengkap dengan fasilitas mewah seperti kolam renang, ruang hijau pribadi, hingga taman.

Gangguan dan Kritik dari Tetangga

Meskipun terlihat sebagai bentuk investasi, aksi borong properti ini tidak diterima dengan baik oleh penduduk sekitar.

Keluhan utama mereka adalah proyek renovasi yang terus-menerus dan menimbulkan kebisingan yang mengganggu kenyamanan.

Beberapa tetangga bahkan menuduh adanya penyalahgunaan izin bangunan. Salah satu properti yang dimilikinya dikabarkan dialihfungsikan menjadi sekolah swasta untuk 14 anak, yang dinilai melanggar aturan penggunaan lahan di kawasan pemukiman.

Menanggapi keluhan tersebut, juru bicara Zuckerberg, Aaron Mclear, menyatakan bahwa sang bos Meta telah berupaya meminimalkan gangguan yang timbul. Namun, protes dari penduduk tetap tidak dapat dihindari, mengingat skala kepemilikan yang begitu besar di lingkungan terbatas.

Polemik di Hawaii: Konservasi vs. Privasi

Bukan hanya di Palo Alto, kepemilikan properti Mark Zuckerberg juga menuai kontroversi di Pulau Kauai, Hawaii. Di sana, ia menguasai lahan seluas 2.300 hektar, termasuk area perkebunan.

Warga setempat khawatir bahwa pengembangan properti ini akan mengganggu area pemakaman leluhur mereka dan membatasi akses masyarakat ke beberapa bagian tanah yang sebelumnya bisa digunakan secara bebas.

Juru bicara Zuckerberg lainnya, Brandi Hoffine, menyatakan bahwa tanah tersebut difokuskan untuk konservasi lingkungan dan pertanian berkelanjutan.

Namun, pernyataan ini belum sepenuhnya meredam kritik dari masyarakat lokal yang merasa hak-hak mereka diabaikan.

Fenomena ini menunjukkan sisi lain dari kehidupan para miliarder teknologi. Kekayaan dan kekuasaan sering kali memicu gesekan sosial dengan masyarakat di sekitarnya.

Di satu sisi, Zuckerberg adalah seorang inovator yang ingin “menghubungkan dunia,” tetapi di sisi lain, tindakannya dalam mengisolasi diri melalui properti megah justru menciptakan jurang dengan komunitas di sekitarnya.

Dampak Sosial dan Ekonomi di Lingkungan Sekitar

Aksi borong properti oleh individu super kaya seperti Zuckerberg menimbulkan dampak yang kompleks bagi lingkungan sekitarnya.

Secara ekonomi, pembelian properti dalam skala besar di sebuah kawasan dapat mendongkrak harga properti secara signifikan.

Bagi pemilik properti yang sudah ada, hal ini bisa menjadi keuntungan finansial jika mereka berniat menjual.

Namun, bagi calon pembeli atau warga yang ingin menetap, harga yang melambung tinggi bisa menjadi penghalang, mengubah dinamika sosial dan demografi kawasan tersebut.

Lingkungan yang semula beragam bisa berubah menjadi kawasan eksklusif yang hanya dihuni oleh segelintir orang.

Selain itu, masalah renovasi dan konstruksi yang terus-menerus juga menciptakan ketidaknyamanan yang berlarut-larut.

Kebisingan, debu, dan lalu lintas kendaraan proyek dapat merusak ketenangan dan kualitas hidup warga yang sudah lama tinggal di sana.

Meskipun juru bicara Zuckerberg berdalih telah meminimalkan gangguan, skala proyek yang begitu besar sulit untuk tidak menimbulkan dampak signifikan.

Kasus dugaan penyalahgunaan izin bangunan, seperti mengubah rumah menjadi sekolah swasta, juga menyoroti potensi pelanggaran hukum.

Aturan zonasi dan perizinan dibuat untuk menjaga keseimbangan dan fungsi sebuah kawasan.

Ketika aturan ini dilanggar, apalagi oleh figur publik, hal ini dapat menimbulkan preseden buruk dan ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada.

Di Hawaii, polemik yang terjadi lebih dalam lagi, menyentuh isu-isu sejarah dan budaya. Lahan yang dibeli Zuckerberg berpotensi mengancam situs-situs suci bagi masyarakat adat, menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya warisan budaya.

Pernyataan Zuckerberg tentang konservasi dan pertanian berkelanjutan tidak cukup untuk menenangkan kekhawatiran tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan tanah, terutama dalam skala besar, tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan sejarah.

Fenomena ini menjadi cerminan dari ketimpangan kekayaan yang semakin lebar.

Kekuatan finansial yang dimiliki oleh para miliarder memungkinkan mereka untuk “memodifikasi” lingkungan sesuai keinginan mereka, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak pada komunitas yang lebih luas.

Hal ini memunculkan pertanyaan penting tentang etika, tanggung jawab sosial, dan bagaimana hukum serta regulasi dapat menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan publik.

Pada akhirnya, kisah properti Mark Zuckerberg di Palo Alto dan Hawaii adalah studi kasus yang menarik tentang gesekan antara kekayaan pribadi, privasi, dan tanggung jawab terhadap komunitas.

Ini menunjukkan bahwa bahkan di kalangan elit teknologi, yang kerap digambarkan sebagai pembawa perubahan positif, tindakan mereka bisa memiliki konsekuensi sosial yang serius.

Baca Juga:YouTube Uji Teknologi AI untuk Verifikasi Usia

Leave a Comment

Related Post