Budaya Cancel Culture di Era Digital

Acsyara Aulia

August 20, 2025

3
Min Read
Budaya Cancel Culture di Era Digital

creativestation.id – Cancel culture adalah fenomena sosial di mana seseorang atau suatu merek “dibatalkan” akibat dianggap melakukan kesalahan atau tindakan yang tidak sesuai dengan norma publik. Biasanya terjadi di media sosial, cancel culture melibatkan boikot, unfollow massal, hingga pelabelan negatif yang bisa merusak reputasi.

Menurut survei Pew Research Center (2021), 44% pengguna internet di Amerika mengaku pernah terlibat dalam cancel culture, baik sebagai pelaku maupun pengamat. Fenomena ini makin kuat di kalangan Gen Z yang aktif bersuara di Twitter/X, TikTok, dan Instagram. Namun, apakah cancel culture benar-benar solusi untuk menegakkan keadilan sosial, atau justru menimbulkan konsekuensi berbahaya?

Asal-Usul Budaya Cancel Culture

Cancel culture mulai populer pada era 2010-an melalui Twitter, berawal dari kampanye #MeToo dan isu keadilan sosial. Awalnya, tujuannya adalah menuntut akuntabilitas publik, terutama bagi figur berkuasa yang kebal hukum atau media.

Namun, seiring waktu, cancel culture berkembang menjadi senjata sosial yang bisa mengenai siapa saja—selebriti, influencer, hingga individu biasa.

Dampak Positif: Menumbuhkan Akuntabilitas Sosial

Walaupun sering dikritik, cancel culture memiliki sisi positif:

  • Memperkuat suara kelompok marginal. Menurut laporan Vox (2022), cancel culture membantu mempercepat diskusi tentang isu rasisme, seksisme, dan pelecehan.

  • Mendorong perubahan perilaku. Beberapa merek global seperti H&M dan Gucci pernah melakukan permintaan maaf publik setelah mendapat kecaman karena kampanye iklan yang dianggap rasis.

Artinya, cancel culture dapat menjadi alat untuk mendesak institusi agar lebih bertanggung jawab.

Dampak Negatif: Trauma dan Ketidakadilan Digital

Di sisi lain, cancel culture sering dianggap merusak dan tidak adil.

  • Kerusakan reputasi permanen. Dalam survei YouGov (2023), 55% responden percaya cancel culture lebih sering merusak reputasi daripada memberi keadilan.

  • Efek psikologis. Individu yang menjadi korban canceling sering mengalami stres, depresi, hingga kehilangan karier.

  • Trial by social media. Alih-alih melalui jalur hukum, cancel culture menyeret opini publik sebagai hakim, juri, sekaligus algojo.

Cancel Culture di Kalangan Gen Z

Gen Z menjadi motor utama cancel culture karena mereka tumbuh dengan media sosial. Menurut data Morning Consult (2022), 56% Gen Z mendukung cancel culture sebagai cara menuntut tanggung jawab publik. Namun, dukungan ini juga diiringi dengan kesadaran bahwa praktik ini bisa berlebihan.

Gen Z lebih cenderung memanfaatkan cancel culture sebagai “panggilan kesadaran” (call-out culture) daripada sekadar pembatalan permanen.

Konsekuensi bagi Masyarakat dan Digital Ethics

Cancel culture telah menimbulkan perdebatan global tentang kebebasan berpendapat, etika digital, dan keadilan sosial.

Konsekuensi besar yang perlu diperhatikan:

  • Polarisasi masyarakat. Muncul perpecahan antara kelompok pro dan kontra cancel culture.

  • Self-censorship. Banyak orang takut berpendapat karena khawatir “dibatalkan”.

  • Krisis kepercayaan. Cancel culture seringkali menghapus ruang untuk diskusi sehat dan peluang rehabilitasi.

Baca juga : Kenapa Gen Z Lebih Suka Belajar dari YouTube?

Bijak Menyikapi Cancel Culture

Budaya Cancel Culture dan Konsekuensinya menunjukkan bahwa fenomena ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menumbuhkan kesadaran sosial dan mendorong akuntabilitas. Namun di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan trauma, ketidakadilan, dan perpecahan.

Daripada sekadar “membatalkan”, masyarakat digital perlu membangun culture of accountability yang memberi ruang edukasi, diskusi, dan pemulihan. Dengan begitu, cancel culture tidak sekadar menjadi tren toxic, melainkan momentum untuk menciptakan ruang publik yang lebih sehat.

Untuk informasi dan perkembangan informasi menarik lainnya, ikuti terus Creativestation.id – sumber referensi kreatif untuk inovasi, bisnis, dan teknologi.

  1. […] Baca juga : Budaya Cancel Culture di Era Digital […]

Leave a Comment

Related Post